Persaingan
Rokok Mild: Berat, Tak Seringan Namanya
Kehadiran A Mild tahun 1989 mengubah
lanskap bisnis rokok nasional. Hampir semua produsen rokok ikut meramaikan
persaingan di kategori rokok ringan ini. Perang komunikasi dan bajak-membajak
tenaga kerja pun tak terelakkan.
Menjelang tutup tahun 1989, industri
rokok di Indonesia dikagetkan oleh langkah berani PT HM Sampoerna Tbk. (HMS).
Produsen rokok keretek Dji Sam Soe ini meluncurkan produk terbarunya yang
tergolong unik. Kenapa unik? Karena produk itu tidak masuk dalam tiga kategori
besar rokok yang ada saat itu, yaitu sigaret keretek tangan (SKT), sigaret
keretek mesin (SKM) reguler, dan sigaret putih mesin (SPM). Lewat produk yang
diberi merek A Mild, HMS membuat sebuah kategori baru: SKM mild.
HMS jelas serius menggelontorkan A
Mild. Ia membutuhkan waktu hingga lebih dari dua tahun untuk proses
persiapannya. Maklum, saat itu tidak ada benchmark produk yang dapat
dijadikan acuan, termasuk di pasar internasional. Yang ada cuma berbagai survei
dan riset yang melibatkan konsumen. Termasuk di antaranya, uji buta yang tidak
hanya dilakukan sekali, tapi beberapa kali di beberapa kota.
Entah berapa banyak dana yang
dikucurkan HMS dalam meracik A Mild. Namun, Putera Sampoerna yang kala itu
menjabat Presiden Direktur HMS tetap ngotot untuk dapat menimang bayinya
itu. “Sejak awal A Mild sudah dirancang untuk menjadi produk yang tidak ada duanya
di pasar domestik,” ungkap Muhammad Warsianto, salah satu tokoh kunci di balik
lahirnya A Mild.
Putera memang punya ambisi yang
besar. Tidak hanya bagi perusahaannya, Putera juga menyimpan ambisi pribadi
untuk menghasilkan produk baru yang sukses di pasar. Maklum, sebagai pemegang
tongkat estafet di perusahaan keluarganya, Putera boleh dibilang gbelum
menghasilkanh, kecuali melanjutkan produk-produk yang telah ada dari generasi
sebelumnya.
Di generasi pertama, tahun 1913,
Liem Seeng Tee sebagai pendiri HMS melahirkan produk yang hingga saat ini masih
menjadi tulang punggung HSM, yakni Dji Sam Soe. Jejak Liem juga diikuti oleh
putranya, Liem Swee Ling atau yang lebih dikenal dengan nama Aga Sampoerna
dengan meluncurkan Sampoerna A (sekarang dikenal dengan merek Sampoerna Hijau –
Red.) tahun 1968. Meski tak sesukses Dji Sam Soe, Sampoerna A mampu
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap total pendapatan HMS.
Nah, Putera yang mulai aktif di
perusahaan tahun 1970-an dan mulai memegang tampuk pimpinan tahun 1980-an,
hingga saat itu belum menghasilkan produknya sendiri. Padahal dari sisi
manajerial, kinerja Putera tergolong sangat bagus. Dialah yang membawa HMS
masuk ke kategori SKM dengan investasi yang tergolong sangat besar, yaitu US$
25 juta. Namun itu belum membuat Putera puas. Pasalnya, di era kepemimpinannya
ia belum bisa melahirkan produk yang sukses di pasar.
Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu
tibalah. Senin, 18 Desember 1989, HMS secara resmi meluncurkan A Mild ke
pasaran. Senyum puas tampak jelas di wajah Putera. Bahkan, Putera pun tak ragu
untuk membubuhkan nama dan tanda tangannya pada kemasan A Mild.
Kehadiran A Mild tak membuat
kompetitor HMS gentar. Mereka bahkan seolah-olah mencibir pada rokok yang
mengusung tema komunikasi Taste of the future itu. Parahnya, tidak hanya
kompetitor yang mencibir. Konsumen pun memberi cibiran yang tak kalah pedas.
Maklum, konsumen yang sudah terbiasa dengan jenis rokok yang sudah ada (SKT,
SKM dan SPM – Red.), A Mild dianggap sebagai rokok yang tidak berasa apa
pun.
“A Mild menghadapi tantangan berat
karena konsumen memosisikannya sebagai rokok putih, sehingga kesannya kurang macho,”
ungkap Surja S. Handoko, CEO Colman Handoko yang juga mantan Direktur Pemasaran
HMS. Penjualan rokok low tar low nicotine (LTLN) dari HMS itu
seret. Bahkan, hingga tiga tahun sejak peluncurannya (1992 – Red.),
penjualan A Mild masih tertinggal jauh dibanding kategori lainnya. Dari total
produksi rokok nasional yang sebesar 152,7 miliar batang (berdasarkan pembelian
pita cukai), A Mild hanya memberi kontribusi 0,33%, atau 0,5 miliar batang.
Bandingkan dengan SKM reguler yang produksinya mencapai 94,2 miliar batang,
atau 61,69% total produksi rokok nasional.
Ini jelas bukan kondisi yang nyaman
bagi HMS. Padahal, tidak sedikit sumber daya yang telah gdibuangh untuk
mengerek rokok yang memang sama sekali baru bagi industri rokok ini – termasuk
di industri rokok dunia — termasuk mengubah kemasan, dari 20 batang menjadi 16
batang. Kendati demikian, Putera tetap yakin dan percaya bahwa A Mild akan
berjaya dan menganggap semua itu sebagai angin lalu.
Baru di tahun 1994, A Mild
meninggalkan tema kampanye lamanya Taste of the future dan menggantinya
dengan How low can you go? Dengan bahasa yang lebih membumi dan
agak provokatif, HMS seolah-olah ingin membuat konsumen berpikir ulang tentang
produk yang selama ini mereka kenal dan gunakan.
Cara ini terbukti efektif. Tahun
1994, penjualan A Mild melonjak tiga kali lipat — dari sebelumnya hanya 18 juta
batang per bulan menjadi 54 juta batang per bulan. Dan seiring bergulirnya
waktu, penjualan A Mild pun terus beranjak naik. Tahun 1996, A Mild sudah
menembus penjualan sebanyak 9,8 miliar batang, atau 4,59% total penjualan rokok
nasional. Tahun-tahun berikutnya, sepertinya menjadi masa keemasan A Mild atau
rokok mild secara keseluruhan. Terakhir (2005), rokok SKM mild
sudah mengambil porsi 16,97% total rokok nasional (lihat Tabel).
Tabel:
Pembelian
Pita Cukai Berdasarkan Segmen 1992 – 2005 (dalam miliar batang)
1992
|
1996
|
2000
|
2004
|
2005
|
Sumber:
wawancara dengan Warsianto.
Meledaknya penjualan A Mild membuat
pemain lain kepincut untuk masuk ke kategori SKM mild. Tahun 1997,
secara hampir bersamaan, dua musuh bebuyutan HMS: PT Djarum dan PT Bentoel
Prima (BP), ikut mencari peruntungan di kategori ini. Djarum mengusung merek LA
Lights, sedangkan BP mengibarkan Star Mild.
Masuknya BP ke kategori ini tak lain
karena pada saat itu Warsianto, yang punya kontribusi cukup besar dalam proses
kelahiran A Mild, sudah mendarat di BP. Seperti halnya di HMS, Warsianto
memimpin lahirnya produk baru ini, bahkan dari mulai bentuk proposal. Dengan
slogan: Losta masta, Star Mild menantang A Mild, di wilayah Jawa Barat,
khususnya Bandung (sebelum dipasarkan secara nasional, awalnya Star Mild hanya
dipasarkan di wilayah Ja-Bar – Red.). “Kami ingin menguji seluruh elemen
pemasarannya lebih dahulu,” ungkap Ginawati Wibowo, Chief Marketing
Office BP.
Jika kandungan tar dan nikotin A
Mild adalah 14 mg dan 1,0 mg sehingga berani keluar dengan kampanye How low
can you go?, Star Mild lebih rendah lagi, yaitu 12 mg dan 0,9 mg. Ini
dijadikan senjata untuk menantang A Mild lewat kampanye bertema: Lower than
low. Dan, karena pasar sudah relatif terbentuk, Star Mild dapat lebih cepat
diterima pasar. Apalagi posisi harga Star Mild yang berada di bawah A Mild juga
sangat cocok dengan kondisi saat itu, di mana krisis ekonomi mulai melanda
negeri ini.
Tah heranlah, di tahun pertamanya
saja, produksi Star Mild sudah mencapai 754 juta batang; kemudian meningkat
menjadi 1,87 miliar batang di tahun 1998; dan 2,9 miliar batang tahun 1999.
Tahun 2000, menurut data ritel AC Nielsen, Star Mild telah menguasai 3% pangsa
pasar rokok secara keseluruhan, dan semakin dekat dengan A Mild yang menguasai
4,1% pasar rokok nasional.
Kehadiran Star Mild cukup membuat
HMS gerah. Namun, HMS tidak kehabisan ide dalam menghadapi Star Mild. Sadar
bahwa A Mild bukan lagi yang terendah dalam hal tar dan nikotin, HMS
meluncurkan tema kampanye baru yang secara terbuka menyerang para pengekornya,
lewat slogan citra (tag line): Others can only follow. “Slogan
ini bertujuan untuk semakin mengokohkan leadership A Mild di pasar rokok
mild Indonesia, karena semakin banyaknya merek rokok mild baru
yang bermunculan,” ungkap Sendi Sugiharto, Kepala Kategori LTLN HMS.
Melihat perkembangan Star Mild yang
cukup oke, kuartal ketiga tahun 1999 BP memberanikan diri melempar produk mild
keduanya, Bentoel Mild. Bahkan, produk ini diposisikan untuk langsung
berhadapan dengan A Mild dan LA Lights, setidaknya dari sisi harga.
Memasuki era tahun 2000-an,
pertarungan di segmen SKM mild kian ramai. PT Gudang Garam Tbk. (GG) yang
sebelumnya seperti tidak berminat untuk masuk ke kategori ini akhirnya tak
kuasa menahan godaan potensi pasar kategori yang memang terus berkembang ini.
Pada September 2002 GG resmi melepas Gudang Garam Surya Signature. gSudut
pandang bahwa GG terlambat dalam memasuki segmen SKM mild saya kira
perlu diluruskan. Apakah menjadi keharusan bagi produsen rokok memasuki segmen
SKM mild? Kalau benar, apa dasar yang melandasinya?h ungkap sumber SWA
di GG dengan nada kesal.
Diakuinya, segmen SKM mild
memang berkembang. “Tapi itu kan baru beberapa tahun belakangan. Jangan lupa,
dalam menggembala A Mild, HMS harus berada dalam kondisi merugi sekitar 7
tahun, terhitung sejak dilahirkan,” ungkapnya lebih lanjut.
Dia menambahkan, dalam meluncurkan
produk baru, GG menerapkan asas kehati-hatian dan tidak berpikir pada kerangka
emosional. Karenanya GG tidak mau latah untuk langsung terjun ke segmen SKM mild
begitu tahu pemain lain memasuki segmen itu. Saling bertempur menggunakan
strategi komunikasi sama, maka otomatis akan ada yang bakal jadi korban. “Sudah
energi dan dana yang dikucurkan tidak sedikit, eh malah hancur lebur,” ujarnya.
Karena itu, menurutnya masuknya GG ke SKM mild tahun 2002 merupakan
waktu yang tepat, di mana pasar SKM mild sudah benar-benar berkembang.
“Jangan sampai ketika GG masuk, ternyata besaran pasarnya hanya semu. Tidak
sebesar sebagaimana citra yang ditampilkan oleh produsen sebelumnya. Kalau itu
yang terjadi, kehadiran GG justru makin mendongkrak popularitas sang
pendahulu,” ia menjelaskan.
Karena itulah, GG tidak sembarang
memasuki segmen SKM mild. Jika pemain lain masuk dengan ukuran diameter slim,
GG menawarkan hal baru, SKM mild diameter reguler. Pembeda ini,
menjadikan GG tidak bertempur head to head dengan HMS, BP ataupun
Djarum. “Jika semua menjadikan anak muda sebagai target pasar. Kami menyasar
kalangan di atasnya, yakni eksekutif mapan. Kalau diandaikan dengan manusia,
umurnya berada di atas 30 tahun,” ia menguraikan.
Harus diakui, kategori SKM mild
memang punya daya magnet yang luar biasa. Tak terkecuali produsen rokok gkecilh
sekelas Nojorono pun turut gberjudih di kategori ini. Setelah berhasil membujuk
Warsianto untuk turun gunung (setelah lepas dari BP, Warsianto sempat pensiun –
Red.), perusahaan asal Kudus yang menggunakan bendera PT Nojorono
Tobacco Indonesia (NTI) ini pun ikut meramaikan pesta mild lewat merek
Clas Mild.
Dibanding rokok mild lainnya,
Clas Mild menyasar konsumen yang lebih bawah. Kondisi makroekonomi yang belum
pulih benar akibat dihantam krisis tahun 1997, sepertinya menjadi pembenaran
bagi NTI yang mengklaim memberikan perceived value yang lebih kepada
konsumen, walaupun harganya relatif lebih murah. Clas Mild pun mendapat
sambutan yang sangat baik dari konsumen.
Kehadiran Clas Mild ternyata cukup
mengusik posisi Star Mild. Untuk menghambat Clas Mild, BP pun mengambil manuver
berani dengan meluncurkan rokok mild ketiganya, X Mild yang dari posisi
harga sengaja dirancang setara dengan Clas Mild.
Toh, menuver itu tidak banyak
berarti. Clas Mild terus melambung. Puncaknya, pada pertengahan 2005, Clas Mild
bertengger di posisi kedua kategori SKM mild dengan menggeser Star Mild
yang sudah sekian lama duduk di posisi itu. Sebuah prestasi fenomenal yang
belum mampu dilakukan oleh saudara sekotanya yang sebenarnya punya amunisi jauh
lebih banyak, Djarum.
Upaya yang dilakukan Djarum untuk
melambungkan LA Lights bukan tidak ada. Segala daya dan upaya sudah dilakukan.
Tema komunikasinya pun berulang kali diubah. Demikian pula dengan uang
gdibuangh yang jumlahnya tidak sedikit. Toh, LA Lights tak kunjung lepas
landas, malah selalu dilangkahi oleh produk-produk lain yang muncul belakangan,
termasuk Clas Mild yang dari sisi perusahaan tidak ada apa-apanya dibanding
Djarum.
Tak hanya BP yang waswas melihat
pergerakan Clas Mild. HMS yang begitu percaya diri pun melakukan manuver untuk
membendung Clas Mild. Dengan menggunakan kendaraan PT Asia Tembakau, HMS
mendarat di pasar SKM mild level bawah lewat merek U Mild. Namun
demikian, HMS mengelak jika U Mild disebut sebagai fighting brand bagi A
Mild. “Seperti hadirnya Sampoerna Hijau yang sama-sama SKT dengan Dji Sam Soe.
Jadi tidak benar U Mild lahir sebagai fighting brand A Mild, tetapi demi
meramaikan pangsa pasar rokok mild, khususnya yang menyasar kelas B-C.
Alasan lain, demi semakin mengokohkan HMS sebagai pemimpin pasar di kategori
rokok mild di Indonesia,” kilah Sendi.
Terakhir, di penghujung tahun 2005,
Djarum menunjukkan rasa penasarannya untuk menaklukkan – setidaknya bicara
banyak – di kategori ini dengan meluncurkan Djarum Super Mezzo. Nama besar
Djarum Super tetap disertakan untuk membuat produk ini langsung take off mengikuti
jejak produk andalan keluarga Hartono itu. Kehadiran Mezzo semakin
memperpanjang deret merek rokok mild yang kabarnya telah menembus angka
100 merek – termasuk yang diproduksi oleh home industry.
Apa rahasia kesuksesan Clas Mild?
“Kami tidak pernah main-main dalam hal kualitas. Rokok adalah sebuah produk
rasa. Keberhasilan produk rokok dapat diterima pasar sangat tergantung pada
kualitas rasa yang ditawarkannya,” tutur John Dharma J.K., Direktur Pemasaran
NTI. Selain itu, NTI juga sangat memperhatian citra produknya. Karena itu,
kendati dari sisi harga posisi Clas Mild berada di bawah produk lainnya, tema
komunikasi yang diusungnya tidak kalah. “Memang, upaya-upaya promosi yang kami
lakukan hampir mirip dengan apa yang dilakukan kompetitor. Tetapi, kami tetap
punya ciri khas yang membedakan dari rokok mild sejenis,” tukas John.
John menjabarkan, sama seperti
pemain lainnya, Clas Mild juga banyak bermain dengan event. Namun, yang
membedakan adalah pemilihan lokasi penyelenggaraan event itu. “Kami
sering kali membuat event di tempat yang tidak biasa, misalnya di atap
gedung pencakar langit,” ujarnya. Dengan menggelar event-event seperti
itu, citra Clas Mild akan terangkat jauh lebih tinggi ketimbang aslinya.
Bahkan, NTI pun tak ragu untuk membawa Clas Mild ke tempat nongkrong paling
beken bagi anak muda Jakarta: Hard Rock Café (HRC), dengan mensponsori acara
andalan HRC, I Like Monday.
Demikian juga dengan TV
Commercial yang ditampilkan Clas Mild sama sekali tidak mencirikan bahwa
produk ini ditujukan untuk segmen menengah-bawah. “Rokok mild punya
target audiens yang sama dari demografi, tapi masing-masing merek
mencoba mencari psikografi yang agak berbeda,” kata Andoko Darta, General
Manager Adwork! EuroRSCG. Maka tak heranlah, masing-masing merek rokok mild
ini keluar dengan tema iklan yang berbeda-beda, sesuai dengan target konsumen
yang dibidik dan juga citra yang diharapkan tercipta dari komunikasi yang
dilakukannya.
Dia mengatakan, sebagai pelopor di
kategori ini, A Mild bisa menunjukkan kepemimpinannya. A Mild selalu tampil
dengan iklan-iklan yang out of the box, dengan tema-tema yang sama
sekali berbeda dari mainstream produk rokok.
Iklan memang menjadi arena perang
tersendiri bagi kategori rokok mild. Setiap pemain dengan gagah berani
menggelontorkan uang miliaran rupiah untuk mengomunikasikan produknya di
berbagai media, utamanya televisi. Tahun 2005, menurut catatan Nielsen Media
Research ratusan miliar rupiah dihabiskan para pemain di kategori rokok mild
ini.
Sebagai pemimpin pasar, A Mild juga
memimpin dalam besaran dana yang dikeluarkan untuk promosi above the line.
Tak kurang dari Rp 144,16 miliar dihabiskan HMS untuk mempromosikan mereknya di
berbagai media. Dengan dana sebesar itu, harus diakui, A Mild memang lebih
bernyali dibanding pemain lainnya dalam hal beriklan. Pasalnya, jumlah dana
yang dikeluarkan pemain lain tidak mencapai separuh dari yang dikeluarkan A
Mild. Clas Mild hanya mengucurkan Rp 61,63 miliar; Star Mild Rp 58, 89 miliar;
LA Lights Rp 57,07 miliar; U Mild Rp 50,06 miliar; dan X Mild Rp 41,84 miliar.
Dominasi A Mild dalam belanja iklan
nantinya mungkin akan disaingi oleh Mezzo, produk terbaru Djarum. Tahun lalu
Mezzo memang hanya menggelontorkan Rp 20,26 miliar. Namun, itu hanya dalam
waktu dua bulan (November dan Desember – Red.). Dan jika bercermin pada
keberanian Djarum dalam beriklan, rasanya bukan tidak mungkin Djarum bakal mengguyurkan
dana yang sangat besar untuk mendukung Mezzo. Gejalanya sudah terlihat di awal
tahun ini. Pada Januari 2006, Mezzo tercatat sebagai merek yang belanja
iklannya terbesar di kategori mild, yaitu Rp 6,97 miliar.
“Walau bukan satu-satunya faktor, ujung-ujungnya
iklan harus bisa meningkatkan penjualan,” ujar Andoko. Karenanya, Andoko
menyarankan agar para pemain untuk juga melakukan pascastudi untuk mengukur
efektivitas iklan yang sudah dilakukannya. Misalnya ketika iklan sudah berjalan
tiga sampai 6 bulan, dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah konsumen
memahami pesan yang disampaikan dalam iklan itu. “Sayangnya jarang yang
melakukan post study ini,” kata Andoko.
Selain iklan, event — khususnya
event musik menjadi arena perang produk mild — hampir setiap
merek mempunyai atau setidaknya menjadi sponsor pada ajang musik tertentu, baik
event outdoor maupun tayangan TV. Aktivitas yang lagi-lagi dipelopori
oleh A Mild ini boleh dibilang sangat mengena dengan target pasar rokok mild,
yaitu anak muda. Tak heranlah, dalam menggelar aktivitas ini pun terjadi
persaingan yang sangat kental.
“Di samping banyak event
lainnya, Soundrenaline merupakan andalan kami. Ini semacam kegiatan musik woodstock-nya
Indonesia,” kata Sendi bangga. Terakhir, A Mild menjadi sponsor utama
penyelenggaraan konser tunggal penyanyi legendaris Lioner Richie.
Clas Mild sebagai pendatang baru pun
tak kalah agresif dalam menyelenggarakan pagelaran musik. Di samping
acara-acara rutin, seperti I Like Monday di HRC yang sudah masuk tahun
ketiga, dan berbagai acara reguler lainnya, Clas Mild juga berani muncul pada
acara berskala besar. Terakhir Clas Mild menjadi sponsor utama konser 3
Diva yang menampilkan tiga penyanyi wanita terdepan di negeri ini,
Krisdayanti, Ruth Sahanaya dan Titi D.J.
Menurut Ruby Chandra Lionardi,
Manajer Merek X Mild, kesamaan cara promosi yang melulu melalui jalur musik,
merupakan ground untuk memudahkan masuk ke pasar. Alasan lainnya, musik
dianggap merupakan cara komunikasi yang universal. “Lebih click dengan
mereka (kaum muda – Red.),” ujar Ruby. X Mild sendiri menggeber
promosinya lewat X Mild Noize Trailer Tour. Mengendarai truk
trailer, X Mild berkeliling ke seluruh pelosok Nusantara. Di atas trailer
itulah digelar pertunjukan musik rock hingga 100 kali di tahun lalu
dengan menggandeng rocker-rocker Indonesia. Ada pula penayangan X
Mild Noizze Ngejam di Global TV yang sudah berjalan mulai tahun lalu.
“Yang tampil artis-artis rock, karena artis rock lebih
ekspresif,” sambungnya.
Ginawati menambahkan, kendati
sama-sama menggunakan musik, tetap saja target yang ingin dicapai berbeda-beda.
“Sama-sama musik, tapi jiwanya disesuaikan dengan segmennya,” ia menuturkan.
Walau begitu, lanjutnya, musik hanya menjadi salah satu kendaraan, masih ada
kendaraan lain seperti olah raga dan berbagai kegiatan lainnya. Contoh, yang
dilakukan Star Mild dengan Crush Bone Basket Ball.
Pertarungan di kategori rokok mild
juga tak terlepas dari praktik bajak-membajak tenaga kerja. Yang paling menarik
adalah gpertukaranh tokoh kunci antara BP dan HMS. BP menarik Surja S. Handoko
dari HMS, sedangkan Sendi Sugiharto dari BP menyeberang ke HMS. Uniknya,
sebelum mendarat di BP, Surja lebih dulu melakukan pendekatan untuk menarik
Sendi dari BP. Namun kenyataannya, Surja lebih dulu hengkang ke BP sebelum
Sendi mendarat di HMS.
Di samping dua nama tersebut,
Warsianto sebagai arsitek rokok mild juga jadi perebutan. Kendati tidak
lewat proses bajak- membajak, Warsianto hingga saat ini telah merasakan bekerja
di tiga perusahaan rokok yang menjadikan mild sebagai andalannya, yaitu
HSM, BP dan NTI yang bertahan hingga saat ini dengan jabatan Penasihat Senior.
Agresivitas pemain-pemain di
kategori rokok mild sangat bisa dimengerti. Pasalnya, dalam beberapa
tahun terakhir, kategori ini merupakan yang paling tinggi pertumbuhannya.
Bahkan, bagi HMS, sejak tahun 2004, A Mild menjadi kontributor terbesar dari
segi volume dengan mengalahkan Dji Sam Soe yang sudah puluhan tahun menjadi
kontributor terbesar, yaitu lebih dari 30%. Namun, dari segi profit, A Mild
memang masih kalah dibanding Dji Sam Soe. Pasalnya, cukai SKT memang jauh lebih
kecil ketimbang SKM, yaitu 22% berbanding 40%.
Gemerlap persaingan rokok mild
bukan tak menelan korban. Memang dari merek-merek yang dikeluarkan produsen
besar hampir semuanya masih tetap beredar. Akan tetapi, kinerja penjualannya
tidaklah sebaik yang diharapkan. Ambil contoh Bentoel Mild. Kendati masih tetap
bertahan, merek ini nyaris tak terdengar. Bahkan, BP sendiri sepertinya sudah
mengabaikan merek yang menyandang merek korporatnya sendiri. “Kami perusahaan
publik yang harus memilih untuk memprioritaskan merek yang kami miliki. Dengan
berbagai pertimbangan akhirnya kami memutuskan untuk mendukung total Star Mild
dan X Mild. Pada akhirnya kami harus memilih di tempat yang memberikan return
tertinggi,” papar Ginawati diplomatis.
Hal yang sama sepertinya juga
dialami GG. Saat ini Surya Signature juga tidak mendapat dukungan yang berarti.
Bahkan menurut data Nielsen Media Research, di tahun 2006 (hingga Januari – Red.),
GG tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk mengomunikasikan merek barunya
itu. Namun demikian, sumber SWA di GG mengelak jika Surya Signature
dikatakan gagal. Kendati enggan menyebutkan angka, ia mengatakan bahwa
penjualan Surya Signature terus meningkat, khususnya untuk varian yang berwarna
merah. “Untuk Surya Signature Biru memang agak seret. Mungkin pasar sudah
memersepsikan bahwa ukuran mild adalah slim,” tukasnya.
Wismilak Slim setali tiga uang.
Alokasi bujet untuk produk ini terus menurun dari tahun ke tahun. Dan seperti
Surya Signature, hingga Januari lalu, produk ini sama sekali tidak melakukan
kegiatan above the line. Ini bisa dilihat dari belanja iklannya yang nol
pada periode itu. Wismilak belakangan malah semakin rajin mempromosikan produk
cerutunya, meski pasarnya sangat niche.
Seleksi alami memang selalu
berjalan. Nantinya, hanya produk yang benar-benar punya karakter yang akan
bertahan hidup. Hingga hari ini, A Mild masih kokoh duduk di singgasananya
dengan penguasaan pasar sekitar 50%. Layak dicermati, akankah Star Mild mampu
merebut kembali predikat runner up yang dulu akrab dengannya dari tangan
Clas Mild. Dan, ada baiknya kita tunggu kelanjutan dari perang sengit di
kategori rokok ringan ini.
Artikel ini dimuat di Majalah SWA
edisi 08/2006, 20 April 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar