Senin, 28 November 2011

Jurnal Akademik dan Etika Bisnis

Jurnal Akademik dan Etika Bisnis
Korupsi di Slowakia: etika Korupsi di Slowakia
isu-isu etis dari titik sistematis tampilan

Omid Furutan
University of La Verne
ABSTRAK
Korupsi, di semua berbagai tingkatan, merupakan salah satu ancaman paling serius terhadap stabilitas dan pengembangan masyarakat sipil. Eropa Barat dan lembaga-lembaga Uni Eropa tidak dikecualikan dari epidemi ini, namun di sebagian besar Negara-negara mantan Blok Timur korupsi, dalam segala bentuknya, adalah endemik. Setelah pemilu pada akhir 1998, pemerintah koalisi baru dari Slovakia diklaim telah mengakui efek berbahaya dari korupsi dan ditempatkan antikorupsi tinggi pada resmi agenda. Pada tahun 1999, Perdana Menteri, Mikulas Dzurinda, berpartisipasi dalam masyarakat konferensi tentang korupsi. Akibatnya, pembentukan Komite Pengarah Antikorupsi di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri, Pal Csáky, diciptakan, mengarah ke draft pertama Program Nasional untuk Melawan Korupsi. Hari ini dapat dilihat bahwa Program Nasional tidak memiliki dampak besar pada masalah korupsi di Slovakia. Dalam Indeks Persepsi Korupsi 2009 mereka rilis pers, Transparansi Internasional peringkat Slowakia 56 th dari 180 negara yang disurvei. Selanjutnya, Slowakia memiliki salah satu peringkat terburuk dari indeks CPI dari semua negara V4, setelah Ukraina. Sebuah survei yang dilakukan oleh Kantor Pemerintah Republik Slovakia (Úrad vlády Slovenskej Republiky) pada tahun 2005, menunjukkan bahwa 1997-2005 tingkat korupsi di Slowakia telah meningkat. Tujuan utama dari artikel ini adalah untuk menguji efektivitas otoriter pendekatan yang diadopsi pemerintah Slovakia, dengan dukungan dari Bank Dunia, untuk melawan korupsi di Slovakia.
Keywords: Slowakia, Milulas Dzurinda, korupsi, anti korupsi, otorite


PENDAHULUAN
Meskipun korupsi selalu ada, pengakuan dampak negatif dari korupsi pada masyarakat telah memperluas sangat dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah badan penelitian yang sedang berkembang menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya mewakili degradasi integritas dan moral, tetapi juga parah halangan bagi proses pembangunan ekonomi (Mauro, 2004). "Korupsi menghalangi investasi dan pertumbuhan dan misdirects sumber daya publik; korupsi sistematis mendistribusikan kembali kekayaan dalam mendukung mereka dengan koneksi dan uang untuk bekerja sistem; korupsi bertindak sebagai pajak regresif, merasa paling keras oleh usaha kecil, mikro-perusahaan, dan miskin; korupsi mengikis kepercayaan pada lembaga-lembaga negara dan berhubungan dengan kejahatan terorganisir; bagi pembayar pajak yang sah, korupsi mengikis kualitas layanan publik di mana warga negara yang mengandalkan dan mereka membayar pajak "(Bank Dunia & Amerika Serikat Agency for International Development, 2000).
Korupsi, di semua berbagai tingkatan, merupakan salah satu ancaman paling serius terhadap stabilitas dan pengembangan masyarakat sipil. Hambatan terbesar bagi integrasi mantan Negara-negara Blok Timur, Polandia, Cekoslowakia, Hongaria, Yugoslavia, Rumania, Bulgaria, dan Albania, ke Uni Eropa adalah korupsi (Komisi Eropa Masyarakat, 2003). Eropa Barat dan lembaga-lembaga Uni Eropa tidak dikecualikan dari epidemi ini, namun di sebagian besar Negara-negara mantan Blok Timur, korupsi, dalam semua nya bentuk, adalah endemik.
Setelah pemilu pada akhir 1998, pemerintah koalisi baru dari Slovakia diklaim telah mengakui efek berbahaya dari korupsi dan ditempatkan antikorupsi tinggi pada resmi agenda. Dipicu oleh antusiasme untuk bergabung dengan Uni Eropa, ini koalisi baru mulai memohon dengan Uni Eropa dan badan internasional lainnya untuk membantu mereka dalam membuat upaya untuk mencoba memerangi korupsi (Úrad vlády Slovenskej Republiky, 2001). Pada tahun 1999, Perdana Menteri, Mikulas Dzurinda, berpartisipasi dalam konferensi publik tentang korupsi. Sebagai Hasilnya, pembentukan Komite Pengarah Korupsi di bawah kepemimpinan Wakil Perdana Menteri, Pal Csáky, diciptakan, yang mengarah ke draft pertama dari National Program untuk Melawan Korupsi. Pemerintah Slovakia meminta agar Bank Dunia dan Badan menyatukan Sates for International Development melakukan diagnostik studi tentang korupsi untuk membantu memberikan informasi tentang pola dan profil dari korupsi di Slovakia sebagai bagian dari Program Nasional. Tujuan yang digariskan dalam National
Program didasarkan pada tiga pilar utama (Úrad vlády Slovenskej Republiky, 2001):
1. Penghapusan situasi dimana korupsi berpotensi dapat terjadi.
2. Peningkatan risiko yang dihasilkan dari praktik korupsi.
3. Meningkatkan sensitivitas publik untuk korupsi.
Dokumen ini menunjukkan bahwa keberhasilan Program Nasional akan tergantung pada hak urutan langkah, "jalur kritis." Dalam teks dari Program Nasional (hal. 14) yang langkah-langkah berikut telah diidentifikasi:
• Membangun kesadaran hukum dan meningkatkan sensitivitas publik untuk melakukan korupsi.
• Memastikan bahwa aturan dapat dilaksanakan (polisi, pengadilan, kantor kejaksaan) - ini adalah dasar untuk membangun sebuah negara yang diatur oleh aturan hukum.
• Transparansi kegiatan administrasi publik dan definisi aturan yang jelas untuk yang
pengambilan keputusan.
• Penyederhanaan dan penghapusan hambatan administratif yang tidak perlu dalam masyarakat
kehidupan dan legalisasi biaya tambahan yang dibayar untuk penyediaan di atas-yang-standar
jasa administrasi publik.
• Transparansi dalam bidang politik, terutama sehubungan dengan pendanaan politik
partai dan konflik kepentingan.
• Peningkatan efektivitas mekanisme kontrol.
Hari ini dapat dilihat bahwa Program Nasional tidak memiliki dampak besar pada masalah korupsi di Slovakia. Dalam Indeks Persepsi Korupsi 2009 mereka rilis pers, Transparansi Internasional peringkat Slowakia 56 th dari 180 negara yang disurvei. Selanjutnya, Slowakia memiliki rating terburuk dari indeks CPI dari semua negara V4 (Polandia, Lapar, Republik Ceko, Slowakia, Lithuania, Latvia, Slovenia, dan Ukraina), setelah Ukraina. Tabel 1 menunjukkan perbandingan ini. Sebuah survei yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Slovakia Kantor (Úrad vlády Slovenskej Republiky) pada tahun 2005, menunjukkan bahwa 1997-2005 tingkat
korupsi di Slowakia telah meningkat. Tabel 2 menyoroti kenaikan ini empat spesifik dan penting
daerah dalam dua tahun bertahap.

POINT OF VIEW SISTEMATIS

Dalam usia baru tentang saling ketergantungan manusia, di mana realitas ekonomi dan politik memaksa dunia menuju skala yang lebih besar dari kesatuan, yaitu Uni Eropa, adopsi etika global tidak hanya diperlukan, tapi tak terelakkan. Pertimbangkan sejauh mana mantan Negara-negara Blok Timur memerlukan partisipasi, kuat tercerahkan, dan berprinsip dari mereka warga jika mereka akan lancar diintegrasikan ke dalam, dan menjadi sukses di Uni Eropa. Ini termasuk kebutuhan bagi orang-orang bisnis untuk moderat keprihatinan mereka akan keuntungan dengan berpusat pada manusia nilai jika ekonomi ini adalah untuk menghindari polarisasi bencana kekayaan. Sebagai bisnis dan individu terjun dalam upaya untuk melewati batas materialisme dan narsis, potensi modal manusia terus menghilang di negara-negara (Mauro, 2004).
Ini dan lainnya jelas mencerminkan tren kebutuhan untuk promosi etika global dan pengembangan moral yang akan sesuai untuk usia baru tentang saling ketergantungan global. Untuk Misalnya, kebaikan, ketika didefinisikan dalam istilah pasif, untuk mengurus bisnis sendiri dan tidak untuk melukai siapa pun, atau konsep yang terbatas pada nasional yang baik, baik perusahaan, atau suku yang baik, adalah cukup memadai dalam era saling ketergantungan. Namun dalam dunia di mana humanistik relativisme lebih dari sebuah aturan daripada pengecualian, pendekatan otoriter mempromosikan global tertentu, atau bahkan nasional, moral atau nilai-nilai adalah kontroversial dan non fungsional. Terlalu sering, di masa lalu, kampanye untuk mempromosikan moralitas telah dikaitkan dengan praktik keagamaan yang represif, menindas politik ideologi, dan visi sempit dan terbatas dari kebaikan bersama, karena berdasarkan pada kerangka nasionalisme, budaya atau etnis tertentu. Kampanye seperti biasanya Kode etik dirumuskan, di mana aturan-aturan yang diberikan kepada individu dan institusi, dan yang ditegakkan oleh berbagai otoritas. Tentu saja, sistem seperti hukum tidak dapat ditolak seluruhnya. Hal ini penting untuk memiliki institusi untuk mempromosikan keadilan, baik oleh individu bermanfaat untuk mengikuti kode yang disepakati, dan diterima, perilaku, atau menghukum mereka karena ketidaktaatan. Tapi, sayangnya, meskipun niat baik dari pendekatan otoriter, telah terlalu sering menyebabkan kelebihan atau gagal total. Kegagalan tersebut terlihat ketika apa yang disebut "beradab" masyarakat terlibat dalam tindakan genosida atau "pembersihan etnis." Selain itu, selalu ada akan pandai pelanggar hukum yang akan lolos dari deteksi dan hukuman, dan menghindari penuntutan dengan menggunakan hukum yang sama dan prosedur yang telah diciptakan untuk menghukum mereka. Semacam ini pendekatan otoriter, sendiri, tidak cukup, karena sedang berpengalaman di Slovakia. Semua kampanye yang sejauh ini pemerintah Slovakia telah dimulai adalah elemen dari pendekatan otoriter. Beberapa tahun kemudian, setelah tahap awal pelaksanaan kampanye ini, Slowakia telah ditegur di bidang korupsi. Salah satu tanda kegagalan dari pendekatan di Slovakia adalah tingkat toleransi Slowakia miliki untuk menerima korupsi sebagai bagian dari kehidupan. Pada bulan Oktober 2004, sebuah survei yang dilakukan oleh GFK Praha, meminta pandangan orang tentang korupsi, mengungkapkan bahwa tingkat toleransi untuk korupsi sebagai bagian dari kehidupan sangat tinggi di Negara-negara mantan Blok Timur. Slovakia peringkat di atas dari survei dalam menerima suap sebagai bagian alamiah dari kehidupan

Journal of Academic and Business Ethics

Corruption in Slovakia: ethics Corruption in Slovakia


ethical issues from a systematic point of view

Omid FurutanUniversity of La VerneABSTRACTCorruption, at all different levels, is one of the most serious threats to stability and development of civil society. Western Europe and the EU institutions are not exempt from this epidemic, but in most countries of former Eastern Bloc corruption, in all its forms, is endemic. After elections in late 1998, a new coalition government of Slovakia claimed to have recognized the harmful effects of corruption and placed anticorruption high on the official agenda. In 1999, Prime Minister, Mikulas Dzurinda, participating in public conference on corruption. As a result, the formation of Anti-Corruption Steering Committee under the leadership of Deputy Prime Minister, Pal Csáky, created, leading to the first draft of the National Programme for Combating Corruption. Today we can see that the National Programme does not have a major impact on the problem of corruption in Slovakia. In the Corruption Perceptions Index 2009 they release the press, Transparency International Slovakia ranked 56 th out of 180 countries surveyed. Furthermore, Slovakia has one of the worst ratings of the CPI index of all V4 countries, after Ukraine. A survey conducted by the Office of the Government of the Slovak Republic (Úrad vlády Slovenskej Republiky) in 2005, showed that the 1997-2005 level of corruption in Slovakia has increased. The main purpose of this article is to test the effectiveness of the approach adopted authoritarian Slovak government, with support from the World Bank, to fight corruption in Slovakia.Keywords: Slovakia, Milulas Dzurinda, corruption, anti-corruption, otoriteINTRODUCTIONAlthough corruption has always existed, the recognition of the negative impact of corruption on society has expanded greatly in recent years. A growing body of research shows that corruption is not just represent the integrity and moral degradation, but also severe impediment to the process of economic development (Mauro, 2004). "Corruption deter investment and growth and misdirects public resources; corruption systematically redistributes wealth in favor of those with connections and money to work the system; corruption acts as a regressive tax, felt hardest by small businesses, micro-enterprise, and the poor; corruption erodes confidence in state institutions and associated with organized crime; for taxpayers who legitimately, corruption erodes the quality of public service in which citizens who rely on and they pay taxes "(World Bank & United States Agency for International Development, 2000).Corruption, at all different levels, is one of the most serious threats to stability and development of civil society. The biggest obstacle to the integration of former Eastern Bloc countries, Poland, Czechoslovakia, Hungary, Yugoslavia, Romania, Bulgaria, and Albania, the European Union is a corruption (Commission of European Communities, 2003). Western Europe and the EU institutions are not exempt from this epidemic, but in most countries of former Eastern Bloc, corruption, in all its forms, is endemic.After elections in late 1998, a new coalition government of Slovakia claimed to have recognized the harmful effects of corruption and placed anticorruption high on the official agenda. Fueled by enthusiasm for joining the European Union, this new coalition began to plead with the EU and other international agencies to assist them in making an effort to try to combat corruption (Úrad vlády Slovenskej Republiky, 2001). In 1999, Prime Minister, Mikulas Dzurinda, participate in a public conference on corruption. As a result, the formation of Corruption Steering Committee under the leadership of Deputy Prime Minister, Pal Csáky, was created, leading to the first draft of the National Programme for Combating Corruption. Slovak Government requested that the World Bank and unify Sates Agency for International Development conduct a diagnostic study on corruption to help provide information about the pattern and profile of corruption in Slovakia as part of the National Programme. Goals outlined in the NationalThe program is based on three main pillars (Úrad vlády Slovenskej Republiky, 2001):1. Elimination of situations where corruption can potentially occur.2. Increased risk resulting from corrupt practices.3. Increasing public sensitivity to corruption.This document shows that the success of the National Programme will depend on the right sequence of steps, "the critical path." In the text of the National Program (p. 14) that the following steps have been identified:• Establish and enhance the legal awareness of public sensitivity to corruption.• Ensure that the rules can be implemented (police, courts, prosecutor's office) - this is the basis for building a state governed by the rule of law.• Transparency of public administration activities and the definition of clear rules for thedecision-making.• Simplification and elimination of unnecessary administrative barriers in societylife and the legalization of additional fees paid to the provision of over-the-standardpublic administration services.• Transparency in politics, especially in relation to political fundingparties and conflict of interest.• Increasing the effectiveness of control mechanisms.Today we can see that the National Programme does not have a major impact on the problem of corruption in Slovakia. In the Corruption Perceptions Index 2009 they release the press, Transparency International Slovakia ranked 56 th out of 180 countries surveyed. Furthermore, Slovakia has the worst rating of the CPI index of all V4 countries (Poland, Hungry, Czech Republic, Slovakia, Lithuania, Latvia, Slovenia, and Ukraine), after Ukraine. Table 1 shows this comparison. A survey conducted by the Government Office of the Slovak Republic (Úrad vlády Slovenskej Republiky) in 2005, showed that the 1997-2005 levelcorruption in Slovakia has increased. Table 2 highlights the increase in these four specific and importantarea within two years of gradual.SYSTEMATIC POINT OF VIEWIn the new age of human interdependence, in which economic and political realities forced the world to scale greater than unity, namely the European Union, the adoption of a global ethic is not only necessary, but inevitable. Consider the extent to which the former Eastern Bloc countries require participation, strong enlightened, and principled than their citizens if they will be smoothly integrated into, and become successful in the European Union. These include the need for business people to moderate their concern for profits with human-centered economic value if it is to avoid catastrophic polarization of wealth. As businesses and individuals engaged in an attempt to cross the line and narcissistic materialism, the potential of human capital continue to disappear in those countries (Mauro, 2004).These and other trends clearly reflect the need for promotion of global ethics and moral development that would be appropriate for the new age of global interdependence. For example, goodness, when defined in terms of passive, to take care of business itself and not to injure anyone, or a concept limited to the national good, good company, good or tribe, is quite adequate in an era of interdependence. But in a world in which humanistic relativism is more of a rule than the exception, authoritarian approach to promote a particular global or even national, moral or values ​​is controversial and non-functional. Too often, in the past, campaigns to promote morality has been associated with repressive religious practices, oppressive political ideology, and the narrow and limited vision of the common good, because based on a framework of nationalism, or a particular ethnic culture. Campaigns such as usually formulated code of ethics, where the rules are given to individuals and institutions, and established by various authorities. Of course, like the legal system can not be rejected entirely. It is important to have institutions to promote justice, both by individuals is useful to follow an agreed code, and acceptable, behavior, or punish them for disobedience. But, unfortunately, despite the good intentions of the authoritarian approach, has too often led to excess or total failure. Failure is seen as so-called "civilized" society engaged in acts of genocide or "ethnic cleansing." In addition, there will always be clever offenders who escape detection and punishment, and avoid prosecution by using the same laws and procedures that have been created to punish them. This kind of authoritarian approach, itself, is not enough, because it is being experienced in Slovakia. All campaigns are so far the Slovak government has started is an element of an authoritarian approach. A few years later, after the initial implementation phase of this campaign, Slovakia has been reprimanded in the field of corruption. One sign of failure of the approach is the level of tolerance in Slovakia Slovakia have to accept corruption as part of life. In October 2004, a survey conducted by GFK Prague, asking people's views about corruption, reveals that the level of tolerance for corruption as part of life is very high in the countries of former Eastern Bloc. Slovakia ranks in the top of the survey in accepting a bribe as a natural part of life

DANCOW® Susu Sereal

DANCOW Susu Sereal, Minuman Selingan Bernutrisi Satu lagi inovasi baru dari Nestle telah hadir di tengah kita. DANCOW Susu Sereal, kombinasi nutrisi susu DANCOW dan sereal yang mengenyangkan.
Membantu para ibu untuk memastikan putra-putrinya mengkonsumsi makanan dan minuman tepat untuk pertumbuhan optimal mereka.
Mengandung zat-zat gizi penting yang menjadikannya lebih unggul dibandingkan produk sereal yang sekarang ada.
·         CALCI-N, kalsium susu yang lebih optimal diserap tubuh dan berperan dalam pembentukan tulang serta mempertahankan kepadatan tulang dan gigi.
·         Protein 5 kali lebih banyak untuk pertumbuhan anak.
  • Prebiotik Inulin untuk membantu menjaga sistem pencernaan anak.
  • Zat besi membantu mengurangi resiko anemia defisiensi zat besi.
  • 25 vitamin dan mineral, antara lain vitamin C yang merupakan antioksidan yang bekerja bersama antioksidan lain terutama vitamin E.
Pastikan selingan sehat untuk buah hati Anda dengan DANCOW Susu Sereal!


video : http://www.youtube.com/watch?v=UIw0qI4qq3E

Persaingan Rokok Mild: Berat, Tak Seringan Namanya 

Kehadiran A Mild tahun 1989 mengubah lanskap bisnis rokok nasional. Hampir semua produsen rokok ikut meramaikan persaingan di kategori rokok ringan ini. Perang komunikasi dan bajak-membajak tenaga kerja pun tak terelakkan.
Menjelang tutup tahun 1989, industri rokok di Indonesia dikagetkan oleh langkah berani PT HM Sampoerna Tbk. (HMS). Produsen rokok keretek Dji Sam Soe ini meluncurkan produk terbarunya yang tergolong unik. Kenapa unik? Karena produk itu tidak masuk dalam tiga kategori besar rokok yang ada saat itu, yaitu sigaret keretek tangan (SKT), sigaret keretek mesin (SKM) reguler, dan sigaret putih mesin (SPM). Lewat produk yang diberi merek A Mild, HMS membuat sebuah kategori baru: SKM mild.
HMS jelas serius menggelontorkan A Mild. Ia membutuhkan waktu hingga lebih dari dua tahun untuk proses persiapannya. Maklum, saat itu tidak ada benchmark produk yang dapat dijadikan acuan, termasuk di pasar internasional. Yang ada cuma berbagai survei dan riset yang melibatkan konsumen. Termasuk di antaranya, uji buta yang tidak hanya dilakukan sekali, tapi beberapa kali di beberapa kota.
Entah berapa banyak dana yang dikucurkan HMS dalam meracik A Mild. Namun, Putera Sampoerna yang kala itu menjabat Presiden Direktur HMS tetap ngotot untuk dapat menimang bayinya itu. “Sejak awal A Mild sudah dirancang untuk menjadi produk yang tidak ada duanya di pasar domestik,” ungkap Muhammad Warsianto, salah satu tokoh kunci di balik lahirnya A Mild.
Description: amild.jpeg
Putera memang punya ambisi yang besar. Tidak hanya bagi perusahaannya, Putera juga menyimpan ambisi pribadi untuk menghasilkan produk baru yang sukses di pasar. Maklum, sebagai pemegang tongkat estafet di perusahaan keluarganya, Putera boleh dibilang gbelum menghasilkanh, kecuali melanjutkan produk-produk yang telah ada dari generasi sebelumnya.
Di generasi pertama, tahun 1913, Liem Seeng Tee sebagai pendiri HMS melahirkan produk yang hingga saat ini masih menjadi tulang punggung HSM, yakni Dji Sam Soe. Jejak Liem juga diikuti oleh putranya, Liem Swee Ling atau yang lebih dikenal dengan nama Aga Sampoerna dengan meluncurkan Sampoerna A (sekarang dikenal dengan merek Sampoerna Hijau – Red.) tahun 1968. Meski tak sesukses Dji Sam Soe, Sampoerna A mampu memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap total pendapatan HMS.
Nah, Putera yang mulai aktif di perusahaan tahun 1970-an dan mulai memegang tampuk pimpinan tahun 1980-an, hingga saat itu belum menghasilkan produknya sendiri. Padahal dari sisi manajerial, kinerja Putera tergolong sangat bagus. Dialah yang membawa HMS masuk ke kategori SKM dengan investasi yang tergolong sangat besar, yaitu US$ 25 juta. Namun itu belum membuat Putera puas. Pasalnya, di era kepemimpinannya ia belum bisa melahirkan produk yang sukses di pasar.
Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu tibalah. Senin, 18 Desember 1989, HMS secara resmi meluncurkan A Mild ke pasaran. Senyum puas tampak jelas di wajah Putera. Bahkan, Putera pun tak ragu untuk membubuhkan nama dan tanda tangannya pada kemasan A Mild.
Kehadiran A Mild tak membuat kompetitor HMS gentar. Mereka bahkan seolah-olah mencibir pada rokok yang mengusung tema komunikasi Taste of the future itu. Parahnya, tidak hanya kompetitor yang mencibir. Konsumen pun memberi cibiran yang tak kalah pedas. Maklum, konsumen yang sudah terbiasa dengan jenis rokok yang sudah ada (SKT, SKM dan SPM – Red.), A Mild dianggap sebagai rokok yang tidak berasa apa pun.
“A Mild menghadapi tantangan berat karena konsumen memosisikannya sebagai rokok putih, sehingga kesannya kurang macho,” ungkap Surja S. Handoko, CEO Colman Handoko yang juga mantan Direktur Pemasaran HMS. Penjualan rokok low tar low nicotine (LTLN) dari HMS itu seret. Bahkan, hingga tiga tahun sejak peluncurannya (1992 – Red.), penjualan A Mild masih tertinggal jauh dibanding kategori lainnya. Dari total produksi rokok nasional yang sebesar 152,7 miliar batang (berdasarkan pembelian pita cukai), A Mild hanya memberi kontribusi 0,33%, atau 0,5 miliar batang. Bandingkan dengan SKM reguler yang produksinya mencapai 94,2 miliar batang, atau 61,69% total produksi rokok nasional.
Ini jelas bukan kondisi yang nyaman bagi HMS. Padahal, tidak sedikit sumber daya yang telah gdibuangh untuk mengerek rokok yang memang sama sekali baru bagi industri rokok ini – termasuk di industri rokok dunia — termasuk mengubah kemasan, dari 20 batang menjadi 16 batang. Kendati demikian, Putera tetap yakin dan percaya bahwa A Mild akan berjaya dan menganggap semua itu sebagai angin lalu.
Baru di tahun 1994, A Mild meninggalkan tema kampanye lamanya Taste of the future dan menggantinya dengan How low can you go? Dengan bahasa yang lebih membumi dan agak provokatif, HMS seolah-olah ingin membuat konsumen berpikir ulang tentang produk yang selama ini mereka kenal dan gunakan.
Cara ini terbukti efektif. Tahun 1994, penjualan A Mild melonjak tiga kali lipat — dari sebelumnya hanya 18 juta batang per bulan menjadi 54 juta batang per bulan. Dan seiring bergulirnya waktu, penjualan A Mild pun terus beranjak naik. Tahun 1996, A Mild sudah menembus penjualan sebanyak 9,8 miliar batang, atau 4,59% total penjualan rokok nasional. Tahun-tahun berikutnya, sepertinya menjadi masa keemasan A Mild atau rokok mild secara keseluruhan. Terakhir (2005), rokok SKM mild sudah mengambil porsi 16,97% total rokok nasional (lihat Tabel).
Tabel:
Pembelian Pita Cukai Berdasarkan Segmen 1992 – 2005 (dalam miliar batang)

1992
1996
2000
2004
2005
Sumber: wawancara dengan Warsianto.
Meledaknya penjualan A Mild membuat pemain lain kepincut untuk masuk ke kategori SKM mild. Tahun 1997, secara hampir bersamaan, dua musuh bebuyutan HMS: PT Djarum dan PT Bentoel Prima (BP), ikut mencari peruntungan di kategori ini. Djarum mengusung merek LA Lights, sedangkan BP mengibarkan Star Mild.
Description: starmild.jpeg
Masuknya BP ke kategori ini tak lain karena pada saat itu Warsianto, yang punya kontribusi cukup besar dalam proses kelahiran A Mild, sudah mendarat di BP. Seperti halnya di HMS, Warsianto memimpin lahirnya produk baru ini, bahkan dari mulai bentuk proposal. Dengan slogan: Losta masta, Star Mild menantang A Mild, di wilayah Jawa Barat, khususnya Bandung (sebelum dipasarkan secara nasional, awalnya Star Mild hanya dipasarkan di wilayah Ja-Bar – Red.). “Kami ingin menguji seluruh elemen pemasarannya lebih dahulu,” ungkap Ginawati Wibowo, Chief Marketing Office BP.
Jika kandungan tar dan nikotin A Mild adalah 14 mg dan 1,0 mg sehingga berani keluar dengan kampanye How low can you go?, Star Mild lebih rendah lagi, yaitu 12 mg dan 0,9 mg. Ini dijadikan senjata untuk menantang A Mild lewat kampanye bertema: Lower than low. Dan, karena pasar sudah relatif terbentuk, Star Mild dapat lebih cepat diterima pasar. Apalagi posisi harga Star Mild yang berada di bawah A Mild juga sangat cocok dengan kondisi saat itu, di mana krisis ekonomi mulai melanda negeri ini.
Tah heranlah, di tahun pertamanya saja, produksi Star Mild sudah mencapai 754 juta batang; kemudian meningkat menjadi 1,87 miliar batang di tahun 1998; dan 2,9 miliar batang tahun 1999. Tahun 2000, menurut data ritel AC Nielsen, Star Mild telah menguasai 3% pangsa pasar rokok secara keseluruhan, dan semakin dekat dengan A Mild yang menguasai 4,1% pasar rokok nasional.
Kehadiran Star Mild cukup membuat HMS gerah. Namun, HMS tidak kehabisan ide dalam menghadapi Star Mild. Sadar bahwa A Mild bukan lagi yang terendah dalam hal tar dan nikotin, HMS meluncurkan tema kampanye baru yang secara terbuka menyerang para pengekornya, lewat slogan citra (tag line): Others can only follow. “Slogan ini bertujuan untuk semakin mengokohkan leadership A Mild di pasar rokok mild Indonesia, karena semakin banyaknya merek rokok mild baru yang bermunculan,” ungkap Sendi Sugiharto, Kepala Kategori LTLN HMS.
Melihat perkembangan Star Mild yang cukup oke, kuartal ketiga tahun 1999 BP memberanikan diri melempar produk mild keduanya, Bentoel Mild. Bahkan, produk ini diposisikan untuk langsung berhadapan dengan A Mild dan LA Lights, setidaknya dari sisi harga.
Memasuki era tahun 2000-an, pertarungan di segmen SKM mild kian ramai. PT Gudang Garam Tbk. (GG) yang sebelumnya seperti tidak berminat untuk masuk ke kategori ini akhirnya tak kuasa menahan godaan potensi pasar kategori yang memang terus berkembang ini. Pada September 2002 GG resmi melepas Gudang Garam Surya Signature. gSudut pandang bahwa GG terlambat dalam memasuki segmen SKM mild saya kira perlu diluruskan. Apakah menjadi keharusan bagi produsen rokok memasuki segmen SKM mild? Kalau benar, apa dasar yang melandasinya?h ungkap sumber SWA di GG dengan nada kesal.
Diakuinya, segmen SKM mild memang berkembang. “Tapi itu kan baru beberapa tahun belakangan. Jangan lupa, dalam menggembala A Mild, HMS harus berada dalam kondisi merugi sekitar 7 tahun, terhitung sejak dilahirkan,” ungkapnya lebih lanjut.
Dia menambahkan, dalam meluncurkan produk baru, GG menerapkan asas kehati-hatian dan tidak berpikir pada kerangka emosional. Karenanya GG tidak mau latah untuk langsung terjun ke segmen SKM mild begitu tahu pemain lain memasuki segmen itu. Saling bertempur menggunakan strategi komunikasi sama, maka otomatis akan ada yang bakal jadi korban. “Sudah energi dan dana yang dikucurkan tidak sedikit, eh malah hancur lebur,” ujarnya. Karena itu, menurutnya masuknya GG ke SKM mild tahun 2002 merupakan waktu yang tepat, di mana pasar SKM mild sudah benar-benar berkembang. “Jangan sampai ketika GG masuk, ternyata besaran pasarnya hanya semu. Tidak sebesar sebagaimana citra yang ditampilkan oleh produsen sebelumnya. Kalau itu yang terjadi, kehadiran GG justru makin mendongkrak popularitas sang pendahulu,” ia menjelaskan.
Karena itulah, GG tidak sembarang memasuki segmen SKM mild. Jika pemain lain masuk dengan ukuran diameter slim, GG menawarkan hal baru, SKM mild diameter reguler. Pembeda ini, menjadikan GG tidak bertempur head to head dengan HMS, BP ataupun Djarum. “Jika semua menjadikan anak muda sebagai target pasar. Kami menyasar kalangan di atasnya, yakni eksekutif mapan. Kalau diandaikan dengan manusia, umurnya berada di atas 30 tahun,” ia menguraikan.
Harus diakui, kategori SKM mild memang punya daya magnet yang luar biasa. Tak terkecuali produsen rokok gkecilh sekelas Nojorono pun turut gberjudih di kategori ini. Setelah berhasil membujuk Warsianto untuk turun gunung (setelah lepas dari BP, Warsianto sempat pensiun – Red.), perusahaan asal Kudus yang menggunakan bendera PT Nojorono Tobacco Indonesia (NTI) ini pun ikut meramaikan pesta mild lewat merek Clas Mild.
Description: clasmild.jpeg
Dibanding rokok mild lainnya, Clas Mild menyasar konsumen yang lebih bawah. Kondisi makroekonomi yang belum pulih benar akibat dihantam krisis tahun 1997, sepertinya menjadi pembenaran bagi NTI yang mengklaim memberikan perceived value yang lebih kepada konsumen, walaupun harganya relatif lebih murah. Clas Mild pun mendapat sambutan yang sangat baik dari konsumen.
Kehadiran Clas Mild ternyata cukup mengusik posisi Star Mild. Untuk menghambat Clas Mild, BP pun mengambil manuver berani dengan meluncurkan rokok mild ketiganya, X Mild yang dari posisi harga sengaja dirancang setara dengan Clas Mild.
Toh, menuver itu tidak banyak berarti. Clas Mild terus melambung. Puncaknya, pada pertengahan 2005, Clas Mild bertengger di posisi kedua kategori SKM mild dengan menggeser Star Mild yang sudah sekian lama duduk di posisi itu. Sebuah prestasi fenomenal yang belum mampu dilakukan oleh saudara sekotanya yang sebenarnya punya amunisi jauh lebih banyak, Djarum.
Upaya yang dilakukan Djarum untuk melambungkan LA Lights bukan tidak ada. Segala daya dan upaya sudah dilakukan. Tema komunikasinya pun berulang kali diubah. Demikian pula dengan uang gdibuangh yang jumlahnya tidak sedikit. Toh, LA Lights tak kunjung lepas landas, malah selalu dilangkahi oleh produk-produk lain yang muncul belakangan, termasuk Clas Mild yang dari sisi perusahaan tidak ada apa-apanya dibanding Djarum.
Tak hanya BP yang waswas melihat pergerakan Clas Mild. HMS yang begitu percaya diri pun melakukan manuver untuk membendung Clas Mild. Dengan menggunakan kendaraan PT Asia Tembakau, HMS mendarat di pasar SKM mild level bawah lewat merek U Mild. Namun demikian, HMS mengelak jika U Mild disebut sebagai fighting brand bagi A Mild. “Seperti hadirnya Sampoerna Hijau yang sama-sama SKT dengan Dji Sam Soe. Jadi tidak benar U Mild lahir sebagai fighting brand A Mild, tetapi demi meramaikan pangsa pasar rokok mild, khususnya yang menyasar kelas B-C. Alasan lain, demi semakin mengokohkan HMS sebagai pemimpin pasar di kategori rokok mild di Indonesia,” kilah Sendi.
Terakhir, di penghujung tahun 2005, Djarum menunjukkan rasa penasarannya untuk menaklukkan – setidaknya bicara banyak – di kategori ini dengan meluncurkan Djarum Super Mezzo. Nama besar Djarum Super tetap disertakan untuk membuat produk ini langsung take off mengikuti jejak produk andalan keluarga Hartono itu. Kehadiran Mezzo semakin memperpanjang deret merek rokok mild yang kabarnya telah menembus angka 100 merek – termasuk yang diproduksi oleh home industry.
Apa rahasia kesuksesan Clas Mild? “Kami tidak pernah main-main dalam hal kualitas. Rokok adalah sebuah produk rasa. Keberhasilan produk rokok dapat diterima pasar sangat tergantung pada kualitas rasa yang ditawarkannya,” tutur John Dharma J.K., Direktur Pemasaran NTI. Selain itu, NTI juga sangat memperhatian citra produknya. Karena itu, kendati dari sisi harga posisi Clas Mild berada di bawah produk lainnya, tema komunikasi yang diusungnya tidak kalah. “Memang, upaya-upaya promosi yang kami lakukan hampir mirip dengan apa yang dilakukan kompetitor. Tetapi, kami tetap punya ciri khas yang membedakan dari rokok mild sejenis,” tukas John.
John menjabarkan, sama seperti pemain lainnya, Clas Mild juga banyak bermain dengan event. Namun, yang membedakan adalah pemilihan lokasi penyelenggaraan event itu. “Kami sering kali membuat event di tempat yang tidak biasa, misalnya di atap gedung pencakar langit,” ujarnya. Dengan menggelar event-event seperti itu, citra Clas Mild akan terangkat jauh lebih tinggi ketimbang aslinya. Bahkan, NTI pun tak ragu untuk membawa Clas Mild ke tempat nongkrong paling beken bagi anak muda Jakarta: Hard Rock Café (HRC), dengan mensponsori acara andalan HRC, I Like Monday.
Demikian juga dengan TV Commercial yang ditampilkan Clas Mild sama sekali tidak mencirikan bahwa produk ini ditujukan untuk segmen menengah-bawah. “Rokok mild punya target audiens yang sama dari demografi, tapi masing-masing merek mencoba mencari psikografi yang agak berbeda,” kata Andoko Darta, General Manager Adwork! EuroRSCG. Maka tak heranlah, masing-masing merek rokok mild ini keluar dengan tema iklan yang berbeda-beda, sesuai dengan target konsumen yang dibidik dan juga citra yang diharapkan tercipta dari komunikasi yang dilakukannya.
Dia mengatakan, sebagai pelopor di kategori ini, A Mild bisa menunjukkan kepemimpinannya. A Mild selalu tampil dengan iklan-iklan yang out of the box, dengan tema-tema yang sama sekali berbeda dari mainstream produk rokok.
Iklan memang menjadi arena perang tersendiri bagi kategori rokok mild. Setiap pemain dengan gagah berani menggelontorkan uang miliaran rupiah untuk mengomunikasikan produknya di berbagai media, utamanya televisi. Tahun 2005, menurut catatan Nielsen Media Research ratusan miliar rupiah dihabiskan para pemain di kategori rokok mild ini.
Sebagai pemimpin pasar, A Mild juga memimpin dalam besaran dana yang dikeluarkan untuk promosi above the line. Tak kurang dari Rp 144,16 miliar dihabiskan HMS untuk mempromosikan mereknya di berbagai media. Dengan dana sebesar itu, harus diakui, A Mild memang lebih bernyali dibanding pemain lainnya dalam hal beriklan. Pasalnya, jumlah dana yang dikeluarkan pemain lain tidak mencapai separuh dari yang dikeluarkan A Mild. Clas Mild hanya mengucurkan Rp 61,63 miliar; Star Mild Rp 58, 89 miliar; LA Lights Rp 57,07 miliar; U Mild Rp 50,06 miliar; dan X Mild Rp 41,84 miliar.
Dominasi A Mild dalam belanja iklan nantinya mungkin akan disaingi oleh Mezzo, produk terbaru Djarum. Tahun lalu Mezzo memang hanya menggelontorkan Rp 20,26 miliar. Namun, itu hanya dalam waktu dua bulan (November dan Desember – Red.). Dan jika bercermin pada keberanian Djarum dalam beriklan, rasanya bukan tidak mungkin Djarum bakal mengguyurkan dana yang sangat besar untuk mendukung Mezzo. Gejalanya sudah terlihat di awal tahun ini. Pada Januari 2006, Mezzo tercatat sebagai merek yang belanja iklannya terbesar di kategori mild, yaitu Rp 6,97 miliar.
“Walau bukan satu-satunya faktor, ujung-ujungnya iklan harus bisa meningkatkan penjualan,” ujar Andoko. Karenanya, Andoko menyarankan agar para pemain untuk juga melakukan pascastudi untuk mengukur efektivitas iklan yang sudah dilakukannya. Misalnya ketika iklan sudah berjalan tiga sampai 6 bulan, dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah konsumen memahami pesan yang disampaikan dalam iklan itu. “Sayangnya jarang yang melakukan post study ini,” kata Andoko.
Selain iklan, event — khususnya event musik menjadi arena perang produk mild — hampir setiap merek mempunyai atau setidaknya menjadi sponsor pada ajang musik tertentu, baik event outdoor maupun tayangan TV. Aktivitas yang lagi-lagi dipelopori oleh A Mild ini boleh dibilang sangat mengena dengan target pasar rokok mild, yaitu anak muda. Tak heranlah, dalam menggelar aktivitas ini pun terjadi persaingan yang sangat kental.
“Di samping banyak event lainnya, Soundrenaline merupakan andalan kami. Ini semacam kegiatan musik woodstock-nya Indonesia,” kata Sendi bangga. Terakhir, A Mild menjadi sponsor utama penyelenggaraan konser tunggal penyanyi legendaris Lioner Richie.
Clas Mild sebagai pendatang baru pun tak kalah agresif dalam menyelenggarakan pagelaran musik. Di samping acara-acara rutin, seperti I Like Monday di HRC yang sudah masuk tahun ketiga, dan berbagai acara reguler lainnya, Clas Mild juga berani muncul pada acara berskala besar. Terakhir Clas Mild menjadi sponsor utama konser 3 Diva yang menampilkan tiga penyanyi wanita terdepan di negeri ini, Krisdayanti, Ruth Sahanaya dan Titi D.J.
Menurut Ruby Chandra Lionardi, Manajer Merek X Mild, kesamaan cara promosi yang melulu melalui jalur musik, merupakan ground untuk memudahkan masuk ke pasar. Alasan lainnya, musik dianggap merupakan cara komunikasi yang universal. “Lebih click dengan mereka (kaum muda – Red.),” ujar Ruby. X Mild sendiri menggeber promosinya lewat X Mild Noize Trailer Tour. Mengendarai truk trailer, X Mild berkeliling ke seluruh pelosok Nusantara. Di atas trailer itulah digelar pertunjukan musik rock hingga 100 kali di tahun lalu dengan menggandeng rocker-rocker Indonesia. Ada pula penayangan X Mild Noizze Ngejam di Global TV yang sudah berjalan mulai tahun lalu. “Yang tampil artis-artis rock, karena artis rock lebih ekspresif,” sambungnya.
Ginawati menambahkan, kendati sama-sama menggunakan musik, tetap saja target yang ingin dicapai berbeda-beda. “Sama-sama musik, tapi jiwanya disesuaikan dengan segmennya,” ia menuturkan. Walau begitu, lanjutnya, musik hanya menjadi salah satu kendaraan, masih ada kendaraan lain seperti olah raga dan berbagai kegiatan lainnya. Contoh, yang dilakukan Star Mild dengan Crush Bone Basket Ball.
Pertarungan di kategori rokok mild juga tak terlepas dari praktik bajak-membajak tenaga kerja. Yang paling menarik adalah gpertukaranh tokoh kunci antara BP dan HMS. BP menarik Surja S. Handoko dari HMS, sedangkan Sendi Sugiharto dari BP menyeberang ke HMS. Uniknya, sebelum mendarat di BP, Surja lebih dulu melakukan pendekatan untuk menarik Sendi dari BP. Namun kenyataannya, Surja lebih dulu hengkang ke BP sebelum Sendi mendarat di HMS.
Di samping dua nama tersebut, Warsianto sebagai arsitek rokok mild juga jadi perebutan. Kendati tidak lewat proses bajak- membajak, Warsianto hingga saat ini telah merasakan bekerja di tiga perusahaan rokok yang menjadikan mild sebagai andalannya, yaitu HSM, BP dan NTI yang bertahan hingga saat ini dengan jabatan Penasihat Senior.
Agresivitas pemain-pemain di kategori rokok mild sangat bisa dimengerti. Pasalnya, dalam beberapa tahun terakhir, kategori ini merupakan yang paling tinggi pertumbuhannya. Bahkan, bagi HMS, sejak tahun 2004, A Mild menjadi kontributor terbesar dari segi volume dengan mengalahkan Dji Sam Soe yang sudah puluhan tahun menjadi kontributor terbesar, yaitu lebih dari 30%. Namun, dari segi profit, A Mild memang masih kalah dibanding Dji Sam Soe. Pasalnya, cukai SKT memang jauh lebih kecil ketimbang SKM, yaitu 22% berbanding 40%.
Gemerlap persaingan rokok mild bukan tak menelan korban. Memang dari merek-merek yang dikeluarkan produsen besar hampir semuanya masih tetap beredar. Akan tetapi, kinerja penjualannya tidaklah sebaik yang diharapkan. Ambil contoh Bentoel Mild. Kendati masih tetap bertahan, merek ini nyaris tak terdengar. Bahkan, BP sendiri sepertinya sudah mengabaikan merek yang menyandang merek korporatnya sendiri. “Kami perusahaan publik yang harus memilih untuk memprioritaskan merek yang kami miliki. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya kami memutuskan untuk mendukung total Star Mild dan X Mild. Pada akhirnya kami harus memilih di tempat yang memberikan return tertinggi,” papar Ginawati diplomatis.
Hal yang sama sepertinya juga dialami GG. Saat ini Surya Signature juga tidak mendapat dukungan yang berarti. Bahkan menurut data Nielsen Media Research, di tahun 2006 (hingga Januari – Red.), GG tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk mengomunikasikan merek barunya itu. Namun demikian, sumber SWA di GG mengelak jika Surya Signature dikatakan gagal. Kendati enggan menyebutkan angka, ia mengatakan bahwa penjualan Surya Signature terus meningkat, khususnya untuk varian yang berwarna merah. “Untuk Surya Signature Biru memang agak seret. Mungkin pasar sudah memersepsikan bahwa ukuran mild adalah slim,” tukasnya.
Wismilak Slim setali tiga uang. Alokasi bujet untuk produk ini terus menurun dari tahun ke tahun. Dan seperti Surya Signature, hingga Januari lalu, produk ini sama sekali tidak melakukan kegiatan above the line. Ini bisa dilihat dari belanja iklannya yang nol pada periode itu. Wismilak belakangan malah semakin rajin mempromosikan produk cerutunya, meski pasarnya sangat niche.
Seleksi alami memang selalu berjalan. Nantinya, hanya produk yang benar-benar punya karakter yang akan bertahan hidup. Hingga hari ini, A Mild masih kokoh duduk di singgasananya dengan penguasaan pasar sekitar 50%. Layak dicermati, akankah Star Mild mampu merebut kembali predikat runner up yang dulu akrab dengannya dari tangan Clas Mild. Dan, ada baiknya kita tunggu kelanjutan dari perang sengit di kategori rokok ringan ini.
Artikel ini dimuat di Majalah SWA edisi 08/2006, 20 April 2006