NIM : 01209072
Etika Utilitarianisme
dalam Bisnis
Utilitarianisme
pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Persoalan yang
dihadapi oleh Bentham dan orang-orang sezamannya adalah bagaimana menilai baik
buruknya suatu kebijaksanaan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral.
Singkatnya, bagaimana menilai sebuah kebijaksanaan publik, yaitu kebijaksanaan
yang punya dampak bagi kepentingan banyak orang, secara moral.
1.
Criteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme
Criteria
pertama adalah manfaat ,
yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan
tertentu. Jadi, kebijaksanaan atau tindakan yang baik adalah yang menghasilkan
hal yang baik. Sebaliknya, kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah
yang mendatangkan kerugian tertentu.
Criteria
kedua adalah manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan
manfaat terbesar (atau dalam situasi tertentu lebih besar)dibandingkan dengan
kebijaksanaan atau tindakan alternative lainnya.
Criteria
ketiga adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, yaitu dengan kata lain suatu
kebijaksanaan atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis menurut etika
utilitarianisme adalah kebijaksanaan atau tindakan yang membawa manfaat
terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau sebaliknya membawa akibat merugikan
yang sekecil mungkin bagi sedikit mungkin orang.
Secara
padat ketiga prinsip itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Bertindaklah
sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu mendatangkan keuntungan sebesar mungkin
bagi sebanyak mungkin orang.
2.
Nilai Positif Etika Utilitarianisme
a)
Rasionalitas, prinsip moral yang
diajukan oleh etika utilitarianisme ini tidak didasarkan pada aturan-aturan
kaku yang mungkin tidak kita pahami dan yang tidak bias kita persoalkan
keabsahannya.
b)
Dalam kaitannya dengan itu, utilitarianisme
sangant menghargai kebebasan setiap pelaku moral. Setiap orang dibiarkan bebas
untuk mengambil keputusan dan bertindak dengan hanya memberinya ketiga criteria
objektif dan rasional tadi.
c)
Universalitas, yaitu berbeda dengan
etika teleologi lainnya yang terutama menekankan manfaat bagi diri sendiri atau
kelompok sendiri, utilitarianisme justru mengutamakan manfaat atau akibat baik
dari suatu tindakan bagi banyak orang.
3.
Utilitarianisme sebagai Proses dan sebagai Standar Penilaian
a)
Etika utilitarianisme dipakai
sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan, kebijaksanaan, ataupun untuk
bertindak. Dengan kata lain, etika utilitarianisme dipakai sebagai prosedur
untuk mengambil keputusan. Ia menjadi sebuah metode untuk bisa mengambil
keputusan yang tepat tentang tindakan atau kebijaksanaan yang akan dilakukan.
b)
Etika utilitarianisme juga dipakai
sebagai standar penilaian bai tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan.
Dalam hal ini, ketiga criteria di atas lalu benar-benar dipakai sebagai
criteria untuk menilai apakah suatu tindakan atau kebijaksanaan yang telah
dilakukan memang baik atau tidak. Yang paling pokok adalah menilai tindakan
atau kebijaksanaan yang telah terjadi berdasarkan akibat atau konsekuensinya yaitu
sejauh mana ia mendatangkan hasil terbaik bagi banyak orang.
4.
Analisis Keuntungan dan Kerugian
Pertama, keuntungan dan kerugian (cost and
benefits) yang dianalisis jangan semata-mata dipusatkan pada keuntungan dan
kerugian bagi perusahaan, kendati benar bahwa ini sasaran akhir. Yang
juga perlu mendapat perhatian adalah keuntungan dan kerugian bagi banyak pihak
lain yang terkait dan berkepentingan, baik kelompok primer maupun sekunder.
Jadi, dalam analisis ini perlu juga diperhatikan bagaimana daan sejauh mana
suatu kebijaksanaan dan kegiatan bisnis suatu perusahaan membawa akibat
yang menguntungkan dan merugikan bagi kreditor, konsumen, pemosok, penyalur,
karyawan, masyarakat luas, dan seterusnya. Ini berarti etika utilitarianisme sangat
sejalan dengan apa yang telah kita bahas sebagai pendekatan stakeholder.
Kedua, seringkali terjadi bahwa analisis
keuntungan dan kerugian ditempatkan dalam kerangka uang (satuan yang sangat
mudah dikalkulasi). Yang juga perlu mendapat perhatian serius adalah bahwa
keuntungan dan kerugian disini tidak hanya menyangkut aspek financial,
melainkan juga aspek-aspek moral; hak dan kepentingan konsimen, hak karyawan,
kepuasan konsumen, dsb. Jadi, dalam kerangka klasik etika utilitarianisme,
manfaat harus ditafsirkan secara luas dalam kerangka kesejahteraan,
kebahagiaan, keamanan sebanyak mungkin pihhak terkait yang berkepentingan.
Ketiga¸bagi bisnis yang baik, hal yang juga
mendapat perhatian dalam analisis keuntungan dan kerugian adalah keuntungan dan
kerugian dalam jangka panjang. Ini penting karena bias saja dalam jangka pendek
sebuah kebijaksanaan dan tindakan bisnis tertentu sangat menguntungkan, tapi
ternyata dalam jangka panjang merugikan atau paling kurang tidak memungkinkan
perusahaan itu bertahan lama. Karena itu, benefits yang menjadi sasaran
utama semua perusahaan adalah long term net benefits.
Sehubungan
dengan ketiga hal tersebut, langkah konkret yang perlu dilakukan dalam membuat
sebuah kebijaksanaan bisnis adalah mengumpulkan dan mempertimbangkan
alternative kebijaksanaan bisnis sebanyak-banyaknya. Semua alternative
kebijaksanaan dan kegiatan itu terutama dipertimbangkan dan dinilai dalam
kaitan dengan manfaat bagi kelompok-kelompok terkait yang berkepentingan atau
paling kurang, alternatif yang tidak merugikan kepentingan semua kelompok
terkait yang berkepentingan. Kedua, semua alternative pilihan itu perlu dinilai
berdasarkan keuntungan yang akan dihasilkannya dalam kerangka luas menyangkut
aspek-aspek moral. Ketiga, neraca keuntungan dibandingkan dengan kerugian,
dalam aspek itu, perlu dipertimbagkan dalam kerangka jangka panjang. Kalau ini
bias dilakukan, pada akhirnya ada kemungkinan besar sekali bahwa kebijaksanaan
atau kegiatan yang dilakukan suatu perusahaan tidak hanya menguntungkan secara
financial, melainkan juga baik dan etis.
5.
Jalan Keluar
Tanpa
ingin memasuki secara lebih mendalam persoalan ini, ada baiknya kita secara
khusus mencari beberapa jalan keluar yang mungkin berguna bagi bisnis
dalam menggunakan etika utilitarianisme yang memang punya daya tarik istimewa
ini. Yang perlu diakui adalah bahwa tidak mungkin mungkin kita memuaskan semua
pihak secara sama dengan tingkat manfaat yang sama isi dan bobotnya. Hanya
saja, yang pertama-tama harus dipegang adalah bahwa kepentingan dan hak
semua orang harus diperhatikan, dihormati, dan diperhitungkan secara sama.
Namun, karena kenyataan bahwa kita tidak bisa memuaskan semua pihak secara sama
dengan tingkat manfaat yang sama isi dan bobotnya, dalam situasi tertentu kita
memang terpaksa harus memilih di antara alternative yang tidak sempurna itu.
Dalam hal ini, etika utilitarianisme telah menberi kita criteria paling
objektif dan rasional untuk memilih diantara berbagai alternative yang kita
hadapi, kendati mungkin bukan paling sempurna.
Karena
itu, dalam situasi di mana kita terpaksa mengambil kebijaksanaan dan tindakan
berdasarkan etika utilitarianisme, yang mengandung beberapa kesulitan dan
kelemahhan tersebut di atas, beberapa hal ini kiranya perlu diperhatikan.
a)
Dalam banyak hal kita perlu menggunakan perasaan atau intuisi moral kita untuk
mempertimbangkan secara jujur apakah tindakan yang kita ambil itu, yang
memenuhi criteria etika utilitarianisme diatas, memang manusiawi atau tidak.
b)
Dalam kasus konkret di mana kebijaksanaan atau tindakan bisnis tertentu yang
dalam jangka panjang tidak hanya menguntungkan perusahaan tetapi juga banyak
pihak terkait, termasuk secara moral, tetapi ternyata ada pihak tertentu yang
terpaksa dikorbankan atau dirugikan secara tak terelakkan, kiranya pendekatan
dan komunikasi pribadi akan merupakan sebuah langkah yang punya nilai moral
tersendiri.
Sumber
:
Dr.
Keraf, A. Sonny. 2006. Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta:
Kanisius
TANGGUNG
jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate social responsibility)
TANGGUNG
jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate social responsibility)
kini jadi frasa yang semakin populer dan marak diterapkan perusahaan di
berbagai belahan dunia. Menguatnya terpaan prinsip good corporate governance
seperti fairness, transparency, accountability, dan responsibility telah
mendorong CSR semakin menyentuh “jantung hati” dunia bisnis.
Di tanah air, debut CSR semakin
menguat terutama setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No. 40 Tahun 2007
yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di
bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung
jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).
Namun, UU PT tidak menyebutkan
secara terperinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk
CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3, dan 4 hanya disebutkan
bahwa CSR “dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran.” PT yang
tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan
perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diatur
oleh peraturan pemerintah yang hingga kini belum dikeluarkan.
Akibatnya, standar operasional
mengenai bagaimana menjalankan dan mengevaluasi kegiatan CSR masih diselimuti
kabut misteri. Selain sulit diaudit, CSR juga menjadi program sosial yang
“berwayuh” wajah dan mengandung banyak bias.
Banyak perusahaan yang hanya
membagikan sembako atau melakukan sunatan massal setahun sekali telah merasa
melakukan CSR. Tidak sedikit perusahaan yang menjalankan CSR berdasarkan
copy-paste design atau sekadar “menghabiskan” anggaran. Karena aspirasi dan
kebutuhan masyarakat kurang diperhatikan, beberapa program CSR di satu wilayah
menjadi seragam dan seringkali tumpang tindih.
Walhasil, alih-alih memberdayakan
masyarakat, CSR malah berubah menjadi Candu (menimbulkan kebergantungan pada
masyarakat), Sandera (menjadi alat masyarakat memeras perusahaan), dan Racun
(merusak perusahaan dan masyarakat).
Sejarah singkat
Pengertian CSR sangat beragam.
Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk
meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi untuk pembangunan
sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa
nama lain yang memiliki kemiripan dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR
adalah corporate giving, corporate philanthropy, corporate community relations,
dan community development.
Ditinjau dari motivasinya, keempat
nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Jika corporate
giving bermotif amal atau charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan
dan corporate community relations bernapaskan tebar pesona, community development
lebih bernuansa pemberdayaan.
Dalam konteks global, istilah CSR
mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah
kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century
Business (1998) karya John Elkington.
Mengembangkan tiga komponen penting
sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan
social equity yang digagas the World Commission on Environment and Development
(WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga
fokus: 3P (profit, planet, dan people). Perusahaan yang baik tidak hanya
memburu keuntungan ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki kepedulian terhadap
kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Di Indonesia, istilah CSR semakin
populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah
lama melakukan CSA (corporate social activity) atau aktivitas sosial
perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya
mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan
“kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan.
Melalui konsep investasi sosial
perusahaan seat belt, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai
lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan
advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Kepedulian sosial perusahaan
terutama didasari alasan bahwasannya kegiatan perusahaan membawa dampak (baik
maupun buruk) bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya
di sekitar perusahaan beroperasi.
Selain itu, pemilik perusahaan
sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham, melainkan pula
stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi
perusahaan. Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan,
pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat,
media massa, dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders
relatif berbeda antara satu perusahaan dan lainnya, bergantung pada core bisnis
perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004).
Sebagai contoh, PT Aneka Tambang,
Tbk. dan Rio Tinto menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai
stakeholders dalam skala prioritasnya. Sementara itu, stakeholders dalam skala
prioritas bagi produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble
adalah para customer-nya.
Bias-bias CSR
Berdasarkan pengamatan terhadap
praktik CSR selama ini, tidak semua perusahaan mampu menjalankan CSR sesuai
filosofi dan konsep CSR yang sejati. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak
oleh bias-bias CSR berikut ini.
Pertama, kamuflase. CSR yang
dilakukan perusahaan tidak didasari oleh komitmen genuine, tetapi hanya untuk
menutupi praktik bisnis yang memunculkan ethical questions. Bagi perusahaan
seperti ini, CD bukan kepanjangan dari community development, melainkan “celana
dalam” yang berfungsi menutupi “aurat” perusahaan. McDonald`s Corporation di AS
dan pabrik sepatu Nike di Asia dan Afrika pernah tersandung kasus yang
berkaitan dengan unnecessary cruelty to animals dan mempekerjakan anak di bawah
umur.
Kedua, generik. Program CSR terlalu
umum dan kurang fokus karena dikembangkan berdasarkan template atau program CSR
yang telah dilakukan pihak lain. Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya
malas melakukan inovasi dan cenderung melakukan copy-paste (kadang dengan
sedikit modifikasi) terhadap model CSR yang dianggap mudah dan menguntungkan
perusahaan.
Ketiga, directive. Kebijakan dan
program CSR dirumuskan secara top-down dan hanya berdasarkan misi dan
kepentingan perusahaan (shareholders) semata. Program CSR tidak partisipatif
sesuai prinsip stakeholders engagement yang benar.
Keempat, lip service. CSR tidak
menjadi bagian dari strategi dan kebijakan perusahaan. Biasanya, program CSR
tidak didahului oleh needs assessment dan hanya diberikan berdasarkan belas
kasihan (karitatif). Laporan tahunan CSR yang dibuat Enron dan British American
Tobacco (BAT), misalnya, pernah menjadi sasaran kritik sebagai hanya lip service
belaka.
Kelima, kiss and run. Program CSR
bersifat ad hoc dan tidak berkelanjutan. Masyarakat diberi “ciuman” berupa
barang, pelayanan atau pelatihan, lantas ditinggalkan begitu saja. Program yang
dikembangkan umumnya bersifat myopic, berjangka pendek, dan tidak memerhatikan
makna pemberdayaan dan investasi sosial. CSR sekadar “menanam jagung”, bukan
“menanam jati”.
CSR yang baik
CSR yang baik (good CSR) memadukan
empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency,
accountability, dan responsibility, secara harmonis. Ada perbedaan mendasar di
antara keempat prinsip tersebut (Supomo, 2004). Tiga prinsip pertama cenderung
bersifat shareholders-driven karena lebih memerhatikan kepentingan pemegang
saham perusahaan.
Sebagai contoh, fairness bisa berupa
perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas; transparency menunjuk
pada penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu; sedangkan
accountability diwujudkan dalam bentuk fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris,
dan direksi yang harus dipertanggung jawabkan.
Sementara itu, prinsip
responsibility lebih mencerminkan stakeholders-driven karena lebih mengutamakan
pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders
perusahaan bisa mencakup karyawan beserta keluarganya, pelanggan, pemasok,
komunitas setempat, dan masyarakat luas, termasuk pemerintah selaku regulator.
Di sini, perusahaan bukan saja dituntut mampu menciptakan nilai tambah (value
added) produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, melainkan pula harus
sanggup memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya itu (Supomo,
2004).
Namun demikian, prinsip good
corporate governance jangan diartikan secara sempit. Artinya, tidak sekadar
mengedepankan kredo beneficience (do good principle), melainkan pula
nonmaleficience (do no-harm principle) (Nugroho, 2006).
Perusahaan yang hanya mengedepankan
benificience cenderung merasa telah melakukan CSR dengan baik. Misalnya, karena
telah memberikan beasiswa atau sunatan massal gratis. Padahal, tanpa sadar dan
pada saat yang sama, perusahaan tersebut telah membuat masyarakat semakin bodoh
dan berperilaku konsumtif, umpamanya, dengan iklan dan produknya yang melanggar
nonmaleficience.***
Penulis, analis kebijakan sosial dan
konsultan CSR, Pembantu Ketua I Bidang Akademik STKS
Bandung.
Keadilan dalam Bisnis
1.
Paham Tradisional mengenai Keadilan
a.
Keadilan Legal
Menyangkut
hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara. Intinya adalah
semua orang atau kelompok masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara di
hadapan hukum.
b.
Keadilan Komutatif
Mengatur
hubungan yang adil atau fair antara orang yang satu dengan yang lain atau warga
negara satu dengan warga negara lainnya. Menuntut agar dalam interaksi sosial
antara warga satu dengan yang lainnya tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak
dan kepentingannya. Jika diterapkan dalam bisnis, berarti relasi bisnis dagang
harus terjalin dlm hubungan yang setara dan seimbang antara pihak yang satu
dengan lainnya.
c.
Keadilan Distributif
Keadilan
distributif (keadilan ekonomi) adalah distribusi ekonomi yang merata atau yang
dianggap merata bagi semua warga negara. Menyangkut pembagian kekayaan ekonomi
atau hasil-hasil pembangunan. Keadilan distributif juga berkaitan dengan
prinsip perlakuan yang sama sesuai dengan aturan dan ketentuan dalam perusahaan
yang juga adil dan baik.
2.
Keadilan Individual dan Struktural
Keadilan
dan upaya menegakkan keadilan menyangkut aspek lebih luas berupa penciptaan
sistem yang mendukung terwujudnya keadilan tersebut. Prinsip keadilan legal
berupa perlakuan yang sama terhadap setiap orang bukan lagi soal orang per
orang, melainkan menyangkut sistem dan struktur sosial politik secara
keseluruhan. Untuk bisa menegakkan keadilan legal, dibutuhkan sistem sosial
politik yang memang mewadahi dan memberi tempat bagi tegaknya keadilan legal
tersebut, termasuk dalam bidang bisnis. Dalam bisnis, pimpinan perusahaan
manapun yang melakukan diskriminasi tanpa dasar yang bisa dipertanggungjawabkan
secara legal dan moral harus ditindak demi menegakkan sebuah sistem organisasi
perusahaan yang memang menganggap serius prinsip perlakuan yang sama, fair atau
adil ini.
3.
TEORI KEADILAN ADAM SMITH
a)
Prinsip No Harm
Yaitu
prinsip tidak merugikan orang lain, khususnya tidak merugikan hak dan
kepentingan orang lain. Prinsip ini menuntuk agar dlm interaksi sosial apapun
setiap orang harus menahan dirinya untuk tidak sampai merugikan hak dan
kepentingan orang lain, sebagaimana ia sendiri tidak mau agar hak dan
kepentingannya dirugikan oleh siapapun. Dalam bisnis, tidak boleh ada pihak yg
dirugikan hak dan kepentingannya, entah sbg konsumen, pemasok, penyalur, karyawan,
investor, maupun masyarakat luas.
b)
Prinsip Non-Intervention
Yaitu
prinsip tidak ikut campur tangan. Prinsip ini menuntut agar demi jaminan dan
penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang, tidak seorangpun
diperkenankan untuk ikut campur tangan dlm kehidupan dan kegiatan orang lain
Campur tangan dlm bentuk apapun akan merupakan pelanggaran thd hak orang ttt
yang merupakan suatu harm (kerugian) dan itu berarti telah terjadi
ketidakadilan. Dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat, pemerintah tidak
diperkenankan ikut campur tangan dalam kehidupan pribadi setiap warga negara
tanpa alasan yg dpt diterima, dan campur tangan pemerintah akan dianggap sbg
pelanggaran keadilan. Dalam bidang ekonomi, campur tangan pemerintah dlm urusan
bisnis setiap warga negara tanpa alasan yg sah akan dianggap sbg tindakah tidak
adil dan merupakan pelanggran atas hak individu tsb, khususnya hak atas
kebebasan.
c)
Prinsip Keadilan Tukar
Atau
prinsip pertukaran dagang yang fair, terutama terwujud dan terungkap dlm
mekanisme harga pasar. Merupakan penerapan lebih lanjut dari no harm secara
khusus dalam pertukaran dagang antara satu pihak dengan pihal lain dalam pasar.
Adam Smith membedakan antara harga alamiah dan harga pasar atau harga aktual.
Harga alamiah adalah harga yg mencerminkan biaya produksi yg telah dikeluarkan
oleh produsen, yang terdiri dari tiga komponen yaitu biaya buruh, keuntungan
pemilik modal, dan sewa. Harga pasar atau harga aktual adl harga yg aktual
ditawarkan dan dibayar dalam transaksi dagang di dalam pasar. Kalau suatu
barang dijual dan dibeli pada tingkat harga alamiah, itu berarti barang
tersebut dijual dan dibeli pada tingkat harga yang adil. Pada tingkat harga itu
baik produsen maupun konsumen sama-sama untung. Harga alamiah mengungkapkan
kedudukan yang setara dan seimbang antara produsen dan konsumen karena apa yang
dikeluarkan masing-masing dapat kembali (produsen: dalam bentuk harga yang
diterimanya, konsumen: dalam bentuk barang yang diperolehnya), maka keadilan
nilai tukar benar-benar terjadi. Dalam jangka panjang, melalui mekanisme pasar
yang kompetitif, harga pasar akan berfluktuasi sedemikian rupa di sekitar harga
alamiah sehingga akan melahirkan sebuah titik ekuilibrium yang menggambarkan
kesetaraan posisi produsen dan konsumen. Dalam pasar bebas yang kompetitif,
semakin langka barang dan jasa yang ditawarkan dan sebaliknya semakin banyak
permintaan, harga akan semakin naik. Pada titik ini produsen akan lebih
diuntungkan sementara konsumen lebih dirugikan. Namun karena harga naik, semakin
banyak produsen yang tertarik untuk masuk ke bidang industri tersebut, yang
menyebabkan penawaran berlimpah dengan akibat harga menurun. Maka konsumen
menjadi diuntungkan sementara produsen dirugikan.
4.
TEORI KEADILAN DISTRIBUTIF JOHN RAWLS
Pasar
memberi kebebasan dan peluang yg sama bagi semua pelaku ekonomi. Kebebasan
adalah nilai dan salah satu hak asasi paling penting yg dimiliki oleh manusia,
dan ini dijamin oleh sistem ekonomi pasar. Pasar memberi peluang bagi penentuan
diri manusia sbg makhluk yg bebas. Ekonomi pasar menjamin kebebasan yg sama dan
kesempatan yg fair.
Prinsip-prinsip
Keadilan Distributif Rawls, meliputi:
1)
Prinsip Kebebasan yg sama.
Setiap
orang hrs mempunyai hak yg sma atas sistem kebebasan dasar yg sama yg paling luas
sesuai dg sistem kebebasan serupa bagi semua. Keadilan menuntut agar semua
orang diakui, dihargai, dan dijamin haknya atas kebebasan scr sama.
2)
Prinsip Perbedaan (Difference Principle).
Bahwa
ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa shg ketidaksamaan
tsb: a. Menguntungkan mereka yg paling kurang beruntung; dan b. Sesuai dengan
tugas dan kedudukan yg terbuka bagi semua di bawah kondisi persamaan kesempatan
yg sama.
Jalan
keluar utama utk memecahkan ketidakadilan distribusi ekonomi oleh pasar adalah
dg mengatur sistem dan struktur sosial agar terutama menguntungkan kelompok yg
tdk beruntung.
5.
JALAN KELUAR ATAS MASALAH KETIMPANGAN EKONOMI
- Terlepas dari kritik-kritik thd teori Rawls, kita akui bahwa Rawls mempunyai pemecahan yg cukup menarik dan mendasar atas ketimpangan ekonomi. Dengan memperhatikan secara serius kelemahan-kelemahan yang dilontarkan, kita dapat mengajukan jalan keluar tertentu yang sebenarnya merupakan perpaduan teori Adam Smith yang menekankan pada pasar, dan juga teori Rawls yang menekankan kenyataan perbedaan bahkan ketimpangan ekonomi yang dihasilkan oleh pasar.
- Harus kita akui bahwa pasar adalah sistem ekonomi terbaik hingga sekarang, karena dari kacamata Adam Smith maupun Rawls, pasar menjamin kebebasan berusaha secara optimal bagi semua orang. Karena itu kebebasan berusaha dan kebebasan dalam segala aspek kehidupan harus diberi tempat pertama.
- Negara dituntut utk mengambil langkah dan kebijaksanaan khusus tertentu yang secara khusus dimaksudkan untuk membantu memperbaiki keadaan sodial dan ekonomi kelompok yang secara obyektif tidak beruntung bukan karena kesalahan mereka sendiri.
- Dengan mengandalkan kombinasi mekanisme pasar dan kebijaksanaan selektif pemerintah yang khusus ditujukan untuk membantu kelompok yang secara obyektif tidak mampu memanfaatkan peluang pasar secara maksimal. Dalam hal ini penentuan kelompok yang mendapat perlakuan istimewa harus dilakukan secara transparan dan terbuka. Langkah dan kebijaksanaan ini mencakup pengaturan sistem melalui pranata politik dan legal, sebagaimana diusulkan oleh Rawls, tetapi harus tetap selektif sekaligus berlaku umum. Jalan keluar ini sama sekali tidak bertentangan dengan sistem ekonomi pasar karena sistem ekonomi pasar sesungguhnya mengakomodasi kemungkinan itu.
Sumber :
Dr.
Keraf, A. Sonny. 2006. Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta:
Kanisius
HAK PEKERJA
MACAM-MACAM
HAK PEKERJA
Hak Atas Pekerjaan
Hak
atas pekerjaan merupakan hak azasi manusia,karena.:
- Kerja melekat pada tubuh manusia. Kerja adalah aktifitas tubuh dan karena itu tidak bisa dilepaskan atau difikirkan lepas dari tubuh manusia.
- Kerja merupakan perwujudan diri manusia, melalui kerja manusia merealisasikan dirinya sebagai manusia dan sekaligus membangun hidup dan lingkungannya yang lebih manusiawi. Maka melalui kerja manusia menjadi manusia, melalui kerja mamnusia menentukan hidupnya sendiri sebagai manusia yang mandiri.
- Hak atas kerja juga merupakan salah satu hak asasi manusia karena kerja berkaitan dengan hak atas hidup, bahkan hak atas hidup yang layak.
Hak
atas pekerjaan ini tercantum dalam undang-undang dasar 1945 pasal 27 ayat 2
yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Hak atas upah yang adil
Hak
atas upah yang adil merupakan hak legal yang diterima dan dituntut seseorang
sejak ia mengikat diri untuk bekerja pada suatu perusahaan. Dengan hak atas
upah yang adil sesungguhnya bahwa:
- Bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan upah, artinya setiap pekerja berhak untuk dibayar.
- Setiap orang tidak hanya berhak memperoleh upah, ia juga berhak memperoleh upah yang adil yaitu upah yang sebanding dengan tenaga yang telah disumbangkannya.
- Bahwa perinsipnya tidak boleh ada perlakuan yang berbeda atau diskriminatif dalam soal pemberian upah kepada semua karyawan, dengan kata lain harus berlaku prinsip upah yang sama untuk pekerjaan yang sama.
Hak untuk berserikat dan berkumpul
Untuk
bisa memperjuangkan kepentingannya, khususnya hak atas upah yang adil, pekerja
harus diakui dan dijamin haknya untuk berserikat dan berkumpul. Yang bertujuan
untuk bersatu memperjuangkan hak dan kepentingan semua anggota mereka. Menurut
De Geroge, dalam suatu masyarakat yang adil, diantara perantara-perantara yang
perlu untuk mencapai suatu sistem upah yang adil, serikat pekerja memainkan
peran yang penting.
Ada
dua dasar moral yang penting dari hak untuk berserikat dan berkumpul :
- Ini merupakan salah satu wujud utama dari hak atas kebebasan yang merupakan salah satu hak asasi manusia.
- Dengan hak untuk berserikat dan berkumpul, pekerja dapat bersama-sama secara kompak memperjuangkan hak mereka yang lain, khususnya atas upah yang adil.
Beberapa
hal yang perlu dijamin dalam kaitan dengan hak atas keamanan, keselamatan dan
kesehatan kerja:
- Setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan atas keamanan, keselamatan dan kesehatan melalui program jaminan atau asuransi keamanan dan kesehatan yang diadakan perusahaan itu.
2.
Setiap pekerja berhak mengetahui kemungkinan resiko yang akan dihadapinya dalam
menjalankan pekerjaannya dalam bidang tertentu dalam perusahaan tersebut.
3.
Setiap pekerja bebas untuk memilih dan menerima pekerjan dengan resiko yang
sudah diketahuinya itu atau sebaiknya menolaknya.
Hak untuk diproses hukum secara sah
Hak
ini terutama berlaku ketika seorang pekerja dituduh dan diancam dengan hukuman
tertentu karena diduga melakukan pelanggaran atau kesalahan tertentu. pekerja tersebut
wajib diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, dan kalau
ternyata ia tidak bersalah ia wajib diberi kesempatan untuk membela diri.
Hak untuk diperlakukan secara sama
Pada
perinsipnya semua pekerja harus diperlakukan secara sama, secara fair. Artinya
tidak boleh ada diskriminasi dalam perusahaan entah berdasarkan warna kulit,
jenis kelamin, etnis, agama dan semacamnya, baik dalam sikap dan perlakuan,
gaji, maupun peluang untuk jabatan, pelatihan atau pendidikan lebih lanjut.
Perbedan
dalam hal gaji dan peluang harus dipertimbangkan secara rasional
Diskriminasi
yang didasrkan pada jenis kelamin, etnis, agama dan semacamnya adalah perlakuan
yang tidak adil.
Hak atas rahasia pribadi
Karyawan
punya hak untuk dirahasiakan data pribadinya, bahkan perusahan harus menerima
bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak boleh diketahui oleh perusahaan dan ingin
tetap dirahasiakan oleh karyawan.
Hak
atas rahasia pribadi tidak mutlak, dalam kasus tertentu data yang dianggap
paling rahasia harus diketahui oleh perusahaan atau akryawan lainnya, misalnya
orang yang menderita penyakit tertentu. Ditakutkan apabila sewaktu-waktu
penyakit tersebut kambuh akan merugikan banyak orang atau mungkin mencelakakan
orang lain.
Umumnya
yang dianggap sebagai rahasia pribadi dan karena itu tidak perlu diketahui dan
dicampuri oleh perusahaan adalah persoalan yang menyangkut keyakinan religius,
afiliasi dan haluan politik, urusan keluarga serta urusan sosial lainnya.
Hak atas kebebasan suara hati.
Pekerja
tidak boleh dipaksa untuk melakukan tindakan tertentu yang dianggapnya tidak
baik, atau mungkin baik menurut perusahaan jadi pekerja harus dibiarkan bebas
mengikuti apa yang menurut suara hatinya adalah hal yang baik.
WHISTLE BLOWING
Whistle
blowing adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang
karyawan untuk membocorkan kecurangan entah yang dilakukan oleh perusahaan atau
atasannya kepada pihak lain. Pihak yang dilapori itu bisa saja atasan yang
lebih tinggi atau masyarakat luas.
Rahasia
perusahaan adalah sesuatu yang konfidensial dan memang harus dirahasiakan, dan
pada umumnya tidak menyangkut efek yang merugikan apa pun bagi pihak lain,
entah itu masyarakat atau perusahaan lain.
Whistle
blowing umumnya menyangkut kecurangan tertentu yang merugikan baik perusahaan
sendiri maupun pihak lain, dan kalau dibongkar memang akan mempunyai dampak
yang merugikan perusahaan, paling kurang merusak nama baik perusahaan tersebut.
Contoh
whistle blowing adalah tindakan seorang karyawan yang melaporkan penyimpangan
keuangan perusahaan. Penyimpangan ini dilaporkan pada pihak direksi atau
komisaris. Atau kecurangan perusahaan yang membuang limbah industri ke sungai.
Ocktaviani. D