Selasa, 20 September 2011

IBU
Hadirkan dalam benak kita, seorang perempuan yang dengan susah payah tengah melahirkan bayi yang dikandungnya. Rasa sakit yang tak mampu terucap lewat kalimat, rintihan tangis menahan kepedihan menanggung beban yang tak ringan dalam perutnya yang hingga 9 bulan ia bawa kemana-mana, harap dan cemas yang selalu terasakan dalam jiwa yang dengannya ia hanya mampu bersandar kepada pencipta dirinya dan yang Maha Kuasa menentukan segalanya…terus hadirkan bayangan itu dalam benak kita…ketika bayi yang dikandungnya benar-benar lahir dengan selamat disertai tangis saat keluar menghirup udara dunia, perempuan itu tersenyum lebar seolah lenyap rasa sakit, pedih dan perih yang baru saja ia rasakan…berganti kebahagiaan yang tak terkatakan. Kelelahan badan tidak ia rasakan meski butiran keringat memenuhi sekujur tubuh dan wajahnya yang tampak letih. Air mata kebahagiaan mengalir di kedua pipinya sambil terus saja ia menciumi buah hatinya yang baru beberapa saat lahir dari perutnya. Siapakah perempuan itu? Dia adalah ibu kita. Ya, ibu kita…sosok tegar namun penuh kasih sayang yang telah melahirkan kita. Ibu yang dengan kasih sayangnya mengasuh, merawat dan membesarkan kita. Ibu yang dengan segenap cintanya yang tulus telah mendidik diri kita. Pengorbanan yang luar biasa telah ia lakukan, peluh dan keringat seolah hampir habis tertumpah demi membahagiakan kita, tidak jarang air mata tak tertahankan keluar menetes membasahi pipinya saat kita sakit dan menderita.

Ia tak pernah rela kita mengalami kesusahan, ia ikut merasakan kesedihan saat kita berteman dengan penderitaan, ia isi hati dan fikirannya untuk kebahagiaan anaknya, kita. Lalu, apa yang sudah kita lakukan untuk ibu kita? Balasan apa yang sudah kita persembahkan untuk perempuan mulia itu? Kalimat apa yang terucap lewat lisan kita saat kita dipanggil dan diminta bantuan olehnya? Manakah yang lebih mengemuka dari sikap kita kepada ibu yang telah entah berapa lama mencurahkan kasih sayangnya kepada kita itu? Ada baiknya kita renungi dalam-dalam firman Allah swt berikut ini :

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman/31:14)

Ibu memang sosok yang demikian dimuliakan oleh Islam. Al-Ummu madrasat al-Ulaa liaulaadihaa (seorang Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya). Ungkapan ini saya kira tidak berlebihan mengingat dari ibulah seorang anak pertama kali mendapatkan pelajaran kehidupan setelah karunia hidayah naluri dan hidayah lainnya yang telah Allah berikan kepadanya. Sepanjang perjalanan sejarah kemanusiaan, kita temukan ada Aminah ibunda Muhammad saw, Bunda Khadijah yang penyayang kepada anak-anaknya buah hatinya bersama Rasul Muhammad saw, semua Ummul Mu’minin (istri-istri Nabi saw), ada juga Hajar ibunda Ismail yang memiliki ketegaran luar biasa. Ibadah haji mengabadikan ketegaran Hajar ibunda Ismail yakni sa’I berlari-lari dari shawa ke marwah untuk mendapatkan air kehidupan bagi putra tercintanya. Di tengah gurun pasir yang gersang ia lakukan hal ini, bolak-balik tujuh kali dari shafa ke marwah tanpa ia pedulikan kelelahan tubuhnya hingga akhirnya air itu pun memancar dan yang kemudian mewujud adalah peradaban kemanusiaan dan bahkan seluruh manusia setiap tahun berbondong-bondong ke tempat itu dimana ia telah bersusah payah mencari air kehidupan bagi anaknya dan kemudian berkahnya kehidupan peradaban manusia dengan ibadah dan ketundukan kepada Allah swt dalam rangkaian ibadah haji. Hajar ibunda Ismail juga tampak demikian teguh pendirian dengan kekokohan imannya ketika sang suami, Ibrahim as, meninggalkannya karena perintah Allah swt. Ia berusaha meyakinkan dengan bertanya kepada Ibrahim : apakah ini perintah Allah? Ibrahim dengan perasaan sedih tak tertahankan karena harus meninggalkan istri dan anaknya tercinta di tengah gurun pasir yang gersang dengan sengatan panas tak terkirakan, memberikan jawaban : Ya, ini adalah perintah Allah swt. Apa yang kemudian dikatakan oleh Hajar ibunda Ismail?

“Kalau memang ini adalah perintah Allah, tinggalkan aku bersama Ismail di sini. Semoga Allah memberikan petunjukNya kepadaku.” Ah, gambaran apalagi yang bisa kita berikan untuk menunjukkan ketegaran semacam ini?

Iman kita kepada Allah harus terbuktikan, diantaranya, dengan kesungguhan bakti kita kepada orang tua terutama kepada Ibu. Suatu ketika seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulallah, siapakah yang harus aku pergauli dengan baik di kehidupan dunia ini? Beliau saw menjawab, “Ibumu.” Shahabat itu bertanya lagi, “Lalu setelah itu, siapa lagi ya Rasulallah?” Jawan Rasulullah saw, “Ibumu.” dua kali sudah Rasulullah saw memberikan jawaban yang sama. Untuk ketiga kalinya, shahabat tersebut bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi, ya Rasulallah?” Apa jawaban Rasulullah saw? Untuk pertanyaan yang ketiga ini pun Rasulullah saw tetap memberikan jawaban yang sama : “Ibumu.” Baru pada pertanyaan yang keempat ketika shahabat tadi masih juga bertanya, “Lalu siapa lagi ya Rasulallah?” Beliau saw kemudian baru memberikan jawaban : “Bapakmu.

Setelah semua demikian jelas di hadapan kita dari petunjuk Allah dan RasulNya, lalu pertanyaan renungan yang tampaknya mesti kita jawab adalah : apakah yang sudah kita lakukan sebagai bakti kita kepada kedua orang tua kita? Bakti kita kepada Ibu kita? Masihkah kita terus-terusan membebani kehidupan beliau berdua? Apa yang sudah kita upayakan untuk membahagiakan ibu kita? Sungguh, keridloan keduanya adalah ekspresi nyata keridloan Allah swt.

Demikian pula, kemurkaannya adalah cermin nyata kemurkaan Allah swt kepada kita. Meskipun memang bakti kita kepada orang tua tidak membabi buta. Tetap ada batasan, yakni sepanjang dalam kerangka ketaatan kepada Allah swt. Sehingga jika yang mereka perintahkan kepada kita adalah kemaksiatan atau kakafiran, maka tidak ada ketaatan yang perlu kita lakukan

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman/31:15)

Ibu adalah perempuan mulia yang harus kita muliakan. Sebab ia menjadi perantara keberadaan kita di dunia, pendidik pertama kita tentang kehidupan, curahan kasih sayangnya tak ternilai oleh kebaikan apapun yang telah kita lakukan untuknya, cintanya kepada kita tanpa pamrih, doa dan harapannya selalu dipanjatkan untuk kebahagiaan hidup kita. Barangkali ibu kita sedang tidak bersama kita, namun jiwanya senantiasa ia isi dengan kehadiran diri kita anaknya ini. Bisa jadi kita sedemikian durhaka dan bersikap kasar kepadanya, namun ibu tak mampu menghilangkan kasih sayangnya kepada kita. Perlakuan apapun seorang anak kepada ibunya, ibu itu tetap menyayanginya. Tak kan terhapus cinta tulusnya kepada anaknya. Tengah malam ia tengadahkan kedua tangannya ke langit, lalu untaian doa demikian indah ia susun lewat lisannya yang ia minta adalah keselamatan dan kebahagiaan buat buah hatinya tercinta. Tangis yang pecah di tengah senyapnya malam adalah ketika ia ingat dan rindu kepada anaknya yang sedang tidak berada di sisinya. Lisannya tak pernah kering dari dzikir dan munajat penuh ketulusan yang ia sampaikan kepada penguasa alam , penggenggam segala urusan, penentu segala sesuatu : Allah swt. Ibu adalah sosok mulia yang penuh cinta dan kasih sayang kepada anak-anaknya. Di akhir malam, ketika ia mulai beranjak ke peraduan, tergambar dengan begitu jelas wajah anaknya. Lalu, air matanya kembali menetes membasahi wajah tuanya. Di usia yang semakin renta, ia hanya mengharap kebahagiaan anaknya dan doa ketulusan dari kita kepadanya.

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh…Lewati rintangan demi aku anakmu…

Ibuku sayang masih terus berjalan…Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah…Seperti udara kasih yang engkau berikan…Tak mampu ku membalas…Ibu…Ibu… (Syair lagu “Ibu”, Iwan Fals)

(Ustadz Sigit Yulianta M.S.I)